Diakuinya, kendala yang dihadapi para seniman badud saat ini adalah sisi finansial. Para seniman badud, lanjut dia, berasal dari orang menengah ke bawah.
"Tumpuan penghasilannya hanya dari itu (seni badud)," ungkapnya.
Dia tidak menampik, seni tradisional badud selalu diikutsertakan dalam setiap acara di Pangandaran. Tak pernah absen.
"Kami selalu nomor satu saat ada event. Tidak pernah tak dilibatkan," ujar Yaya.
Namun, lanjut dia, hal ini berbanding terbalik dengan kesejahteraan para seniman badud. Pernah pada satu even, kata Yaya, ia membawa 24 anggota.
"Namun hanya dibayar Rp 1,5 juta seharian, itupun untuk dibagi dengan 24 anggota," keluh Yaya.
Kalau fasilitas, tambah dia, seniman badud memang dimanjakan. Difasilitasi kendaraan, dan makan yang bagus.
"Di sisi lain kami kadang-kadang berhitung penghasilan, kerja sehari dapat berapa," kata dia.
Seni tradisional Badud memang menjadi kebanggan Pangandaran, tapi tidak dibarengi dengan kesejahteraan para senimannya.
Yaya mengaku prihatin, khususnya kepada para anggotanya yang sama-sama berjuang melestarikan seni tradisional Badud.
"Dari finansial memprihatinkan. Tidak sepantasnya seni yang hanya ada satu ini, tapi dibayar alakadarnya," tegasnya.
Disinggung ihwal regenerasi, Yaya menjelaskan, regenerasi pemain badud tidak sulit. Bahkan, anggotanya ada yang anak-anak.
"Selain bapak-bapak, ada anak-anak juga. Perempuan juga ada," kata dia.
Para anggotanya sangat antusias ikut kesenian ini. Bahkan saat mau tampil, Yaya harus membatasi jumlah anggota saking banyak yang mau tampil.
"Yang lain masih mau ikut. Soalnya itu jadi kebanggaan tersendiri," tegas dia.