BANDUNG BARAT, KOMPAS.com - Gelak tawa penonton pecah saat mereka menyaksikan balap 'mobil' kayu yang meluncur dari atas ketinggian bukit dengan lintasan curam di kaki Gunung Bukit Tunggul.
Mereka menyebutnya Kadaplak, sebuah permainan yang terbuat dari kayu dan bambu menyerupai mobil balap Formula 1 lengkap dengan empat roda di ujung-ujungnya.
Dalam lintasan curam di bawah rindang pohon pinus Kampung Pasir Angling, Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat, balap Kadaplak itu digelar.
Baca juga: Mengenal Benteng Pendem Ngawi, Benteng yang Pernah untuk Kontrol Sistem Tanam Paksa
Atif Ramdani (8), sengaja dikenalkan dengan permainan lawas Kadaplak oleh orangtuanya untuk mengasah motorik dan ketangkasan.
"Ini pertama kali nyoba. Rasanya degdegan tapi seru. Awalnya takut jatuh karena meluncur dari ketinggian tanpa rem," kata Atif.
Betul saja. Kadaplak ini dibuat tanpa ada mesin atau rem yang dikendalikan layaknya kendaraan pada umumnya. Pengemudi cukup duduk seimbang di atas bambu segitiga dan menggunakan kaki sebagai kendali arah belok.
"Remnya pakai tangan di pegang ban belakangnya. Beloknya dikendalikan pakai kaki," ucap Atif.
Kali pertama menjajal Kadaplak membuatnya keasyikan. Ia berulang kali menaiki 'mobil balap' mini itu dari atas lereng dan berhenti di permukaan yang datar.
Baca juga: Persamaan dan Perbedaan Tanam Paksa dan Usaha Swasta Hindia Belanda
Gelaran permainan Kadaplak ini bukanlah semata untuk kesenangan. Ada nilai yang sedang diperjuangkan oleh masyarakat lokal pegunungan Bukit Tunggul.
Pelestari Mainan Tradisional Kadaplak, Gunawan Azhari mengatakan, Kadaplak ini merupakan warisan budaya dari kakek nenek masyarakat Bandung Utara khususnya masyarakat petani di kaki gunung Bukit Tunggul.
"Generasi saya termasuk generasi yang merasakan Kadaplak ini dikenalkan oleh orang tua kami. Karena itu, kami enggak mau jika suatu saat nanti Kadaplak diklaim oleh negara lain," kata Igun sapaan akrab Gunawan.
Igun menjelaskan, Kadaplak ini sudah populer jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada medio 1938, banyak dari masyarakat Bukit Tunggul memiliki Kadaplak sendiri-sendiri.
Di era itu Kadaplak dikenal bukan sebagai permainan tradisional, melainkan alat transportasi hasil pertanian.
Hasil tani itu dikirim dari kebun yang berada di atas ketinggian dan diantar ke tengkulak yang menunggu di bawah.
"Bukit ini dulunya merupakan ladang tembakau yang ditanam paksa oleh pemerintah kolonial dan digarap oleh buruh-buruh tani di antaranya orangtua-orangtua kami," papar Igun.
Baca juga: Johannes van den Bosch, Penggagas Sistem Tanam Paksa
Sementara anak-anak buruh tani itu memanfaatkan Kadaplak menjadi permainan mereka di antara waktu memanen tembakau.
"Hasil panen tembakau biasanya di angkut sore. Nah di sela-sela waktu itu orangtuanya bekerja di ladang, Kadaplak yang nganggur itu dipakai anak-anaknya untuk bermain," jelasnya.
Namun seiring waktu kebun tembakau di kaki gunung Bukit Tunggul perlahan hilang, tembakau tak lagi laku dan permainan Kadaplak pun ikut tergerus zaman.
Permainan ini bukan hanya sekadar permainan biasa, ada nilai budaya dan nilai sejarah yang harus lestari untuk menguatkan identitas suatu daerah.
Kadaplak memiliki nilai edukasi bagi generasi selanjutnya, salah satunya tentang sejarah kolonialisme di Desa Suntenjaya.
"Agar ini gak cuma jadi cerita, kami harap Kadaplak ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB). Dengan begitu Kadaplak bisa tetap lestari," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.