Selama ini, lanjut Nurahmah, suaminya mendapatkan hasil pertanian dengan sistem pembagian 'nengah' atau bagi hasil 50:50 antara suaminya dan pemilik lahan.
Misalkan, sawah yang digarap suaminya 100 bata atau 1.400 meter persegi menghasilkan 10 sampai 15 kuintal gabah padi basah saat panen normal, akan dapat 5 atau 7,5 kuintal padi saat masa panen nantinya.
"Biasanya, kami menjual hasil gabah padi setengahnya yang didapat hasil tani untuk dijadikan uang. Itu untuk hidup sampai empat bulan sesuai masa tanam ke panen. Setengahnya lagi diproses jadi beras untuk makan," tambahnya.
Baca juga: Hujan Tak Menentu, Petani Padi di Sikka Terancam Gagal Panen
Namun, hasil uang dari hasil tanamnya yang mulus tanpa ada gangguan seperti itu tak bisa menutupi biaya hidup keluarganya selama ini.
Misalkan, dari penjualan 3 kuintal gabah padi saat masa tanam sampai panen normal bisa dapat uang Rp 2.4 juta dengan harga padi misal Rp 8.000 per kilogramnya.
Jumlah itu dipakai untuk kehidupan 4 bulan kalau masa tanam normal, jadi sebulan paling Rp 600-700 ribu penghasilan per bulannya.
"Kalau ditotal ke penghasilan per bulan paling Rp 700 ribuan lah pak. Itu kalau masa tanam sampai panen normal ya. Tapi, kalau kayak kemarin kemarau, ya tidak dapat sama sekali, karena gagal tanam," ungkapnya.
Hal sama diungkapkan Neni (53), petani yang menggarap sawah miliknya sendiri dengan luas 60 bata atau 840 meter persegi bersama suaminya.
Neni mengaku selama ini hanya mengandalkan penghasilan padi sawahnya untuk membiayai kehidupan keluarganya.
Selama ini, Neni dan suaminya merupakan salah satu keluarga yang mempertahankan lahan sawahnya dalam gempuran alih fungsi lahan jadi perumahan di wilayah perkotaan.
"Kalau sawah punya tetangga sudah berubah jadi rumah atau perumahan. Cuma saya yang tak jual sawah dari dulu. Meski cuma sedikit lahannya, ternyata sangat bermanfaat sekali bagi keberlangsungan hidup keluarga. Terbayang kalau punya sawahnya luas. Udah aman kerja sebagai petani saja," ungkap Neni di lokasi pesawahan Kawalu, Kota Tasikmalaya.
Baca juga: Kisah Petani Padi di Sumbawa Semakin Terhimpit Mahalnya Biaya Produksi
Neni mengakui kalau ketiga anaknya yang sudah dewasa saat ini sangat tak tertarik menjadi petani.
Padahal, kalau lahannya luas, digarap dengan baik sebetulnya enggak perlu kerja juga bisa tercukupi kebutuhan hidup.
Namun, Neni dan suaminya tak menyangkal kalau anak-anaknya yang sekolah dengan biaya dari hasil petani satu petak sawahnya menginginkan pekerjaan terbaik selain petani.
"Iya, mungkin gak salah juga sih anak-anak tak ingin jadi petani. Karena kita (orangtua petani) ingin anaknya lebih baik dan jangan asal jadi petani. Rata-rata semua petani seperti saya di Indonesia akan berpikiran sama sebagai orang tua ke anak," ujar Neni.