"Sekarang mah cuma garap 530 bata di dua blok, kalau dulu bisa sampai 1 hektar karena lahannya masih ada. Sekarang kalau di kota memang sudah jadi rumah-rumah," ujar Didi kepada Kompas.com di sawah garapannya.
Soal harga beras tinggi, Didi mengaku belum merasakannya, karena baru memasuki masa tanam selama 1 bulan.
"Justru panen kemarin mah kan kemarau panjang, jadi hasilnya juga jelek, kebagiannya ya sedikit. Gak apa-apa harga beras mahal, yang penting beli pupuk gampang, murah," kata suami dari Ratnah (65).
Didi mengatakan, ia sudah puluhan tahun menjadi buruh penggarap lahan padi. Dari pernikahannya, ia dikaruniai dua anak.
"Alhamdulillah, sudah rumah tangga, dua-duanya, sekarang kerja di pabrik Kahatex," sebut Didi.
Ade Royana (69), mengaku sudah menjadi penggarap padi di Blok Kanyere, Desa Margamukti, Kecamatan Sumedang Utara sejak tahun 2006.
"Punya lima orang anak, kendala bertani tidak ada, sudah jadi rutinitas, pupuk juga sekarang gampang didapat. Cuma kalau harga beras mahal sekarang belum merasakan, karena panen terakhir kemarin itu hasilnya kurang bagus, karena kemarau panjang," kata Ade.
Dari tiga buruh tani padi asal Sumedang ini berharap, lahan garapan untuk mereka akan tetap ada. Karena, di tengah keterbatasan tenaga di usia yang sudah semakin senja, para buruh tani ini masih ingin tetap produktif.
"Kalau gak nyawah, terus diem di rumah juga malah jadi sakit. Saya mah maunya gini terus, bisa tetap garap sawah jadi bisa terus gerak," kata Memet.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.