Cirebon yang lahir atas dasar kemajemukan pribumi serta para pendatang juga melekat pada masjid ini.
Sikap terbuka dan egaliter melalui jalur perdagangan pesisir pantura membuat kota ini kental akulturasi budaya.
Hal itu terbukti dari sejumlah tiang-tiang yang kokoh berdiri di bagian dalam masjid, sejumlah ukiran di tempat pengimaman, hingga bagian atap masjid agung.
Bagian-bagian yang khas tersebut merupakan peninggalan arsitektur Majapahit yang terus dijaga dan dilestarikan hingga saat ini.
Jumhur, menunjuk adanya simbol bunga teratai, matahari, ukiran Tionghoa, Cina dan lainnya yang bersatu padu di area pengimaman.
Baca juga: Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Masjid dengan Ornamen Era Hindu-Buddha
Jumhur meyakini, Syekh Syarief Hidayatullah, tak hanya membuat masjid ini untuk solat saja, melainkan juga untuk menyebarkan nilai nilai Islam yang menghargai perbedaan.
"Kanjeng sinuhun Sunan Gunung Jati tidak melarang dan meninggalkan corak aneka ragam budaya yang berkembang saat itu. Justru mengadopsi nilai-nilai Hindu Budha, yang sudah ada sebelum Islam," tambah Jumhur.
Jumhur yang sejak kecil sudah di Keraton Kanoman ini juga mengagumi sikap Sunan Gunung Jati yang memutuskan nama masjid ini tanpa bahasa arab.
Sang Cipta Rasa juga konon mengadopsi bahasa Sansekerta, yang berarti Keagungan Sang Pencipta.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa akan terus dipertahankan sebagai bangunan yang sangat bersejarah di Cirebon. Utamanya, kata dia, adalah bagian dalam yang merupakan awal mula Masjid Pakungwati.
Namun, ada beberapa penambahan-penambahan telah dilakukan oleh beberapa kepemerintahan raja setelah Syekh Syarief Hidayatullah. Hal ini terlihat dari bagian luar dan bangunan pelengkap di sekitar keliling masjid.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.