Editor
"Ketika berwakaf atas namanya, dia harap kematiannya bisa diimbangi dengan pahala wakaf."
Retno mengatakan dalam beberapa kasus dugaan bunuh diri yang ia ketahui, ada pesan yang ditinggalkan korban. Mediumnya bisa kertas atau tulisan di dinding.
Beberapa korban yang disebutnya penuh kemarahan, meninggalkan pesan dengan tulisan tinta berwarna merah dan ditambahkan gambar menyerupai darah atau air mata.
Baca juga: Kronologi Penemuan Kerangka Ibu dan Anak di Bandung Barat, Ditemukan Pertama Kali oleh Sang Suami
Namun jika pesannya di dinding, perkiraannya, tujuan korban adalah untuk menyampaikan apa yang tak tersampaikan selama ini dan agar orang-orang mengetahui penderitaan yang dialaminya.
"Kita bayangkan seseorang mengakhiri hidup, tapi sebelumnya dia sempat menulis itu. Berarti itu adalah pesan yang tidak tersampaikan, atau pesan yang sudah tersampaikan tapi tidak digubris oleh suaminya," imbuh Retno.
"Dan kenapa dia tulis di tembok? Kenapa tidak di kertas? Artinya dia ingin orang langsung membaca dan tahu penderitaan dia. [Orang yang menulis di tembok] adalah orang-orang yang saat hidupnya tidak punya kemampuan menyampaikan [isi hati dan pikirannya], jadi disimpan saja..."
"Jadi ketika mengakhiri hidup, yang paling gampang ditulis di tembok."
Adapun mengenai anak korban, Retno menduga emosionalnya terganggu akibat ketidakharmonisan orang tua serta kekecewaan pada sang ayah.
Baca juga: Cerita Warga Soal Penemuan Kerangka Ibu dan Anak di Bandung Barat: Sempat Minta Maaf...
Perasaan itu tertangkap dari pesan ketiga yang tertulis di dinding: "Aku hanya minta uang sekolah tapi kau seperti ini. Katanya raihlah cita-citamu setinggi langit, tapi kau tidak dukung aku dengan biaya sekolah. Maafkan aku tidak bisa menjadi anak yang sempurna karena manusia tidak ada yang sempurna. Termasuk istrimu aja kau tinggalkan karena kau menuntut dia menjadi sangat sempurna. Tapi ketahuilah, hanya tuhan yang sempurna."
Di kasus-kasus yang suami dan istri tidak harmonis, katanya, anak berada dalam posisi terjepit. Cara anak menangkap perselisihan orang tuanya pun sering kali tidak utuh.
Jika si anak melihat ibunya tersakiti, maka dia akan memandang ayahnya sebagai pihak yang jahat.
"Apalagi ketika si ibu menceritakan keluh kesahnya secara berulang-ulang dan melihat perilaku ayahnya, maka itu akan tersimpan oleh si anak."
"Efeknya ke anak, anak akan melihat ayahnya jahat."
"Sehingga dugaan saya, si ibu meluapkan kemarahannya kemudian si anak mendukung dengan cara yang tidak tepat."
Baca juga: Penemuan Kerangka Ibu dan Anak di Bandung Barat, Tetangga Mengira Korban Pindah Rumah
Karenanya Retno menilai kepolisian harus mengungkap secara terang apa yang melatari kematian dua orang tersebut.
Penyidik, katanya, bisa mulai dengan menelusuri orang-orang terdekat, dan lingkungan sekitar. Selain mengandalkan hasil otopsi jika dimungkinkan.
Pengungkapan fakta, menurutnya, penting sebagai upaya pencegahan di masa mendatang.
Apabila benar kedua korban meninggal akibat bunuh diri, maka bisa menjadi pembelajaran bagaimana lingkungan sekitar menghadapi tetangganya yang tiba-tiba menutup diri atau menarik diri dari dunia luar.
"Bisa jadi awareness bagaimana membantu orang yang tidak punya keluarga, ini jadi faktor penting... ketika seseorang berpisah dia harus survive sementara kita hidup bermasyarakat."
"Apalagi ini kasusnya tidak sedikit, mulai muncul... kok sering dijumpai orang terkunci di rumah kondisinya meninggal tidak diketahui."
"Jadi ada pencegahan, saling menjaga dengan lingkungan sekitar."
Kapolres Cimahi, Tri Suhartanto, mengatakan dua kerangka manusia yang diduga ibu dan anak itu sudah dibawa ke RS Bhayangkara Sartika Asih, Kota Bandung, untuk dilakukan pemeriksaan forensik.
Diharapkan dari kerangka itu bisa diketahui identitas sesungguhnya dari kerangka tersebut.
"Kami masih menunggu dari tim forensik untuk melaksanakan kegiatan tes DNA apakah betul kedua kerangka itu yang diduga ibu dan anak," ujarnya saat ditemui di Mapolres Cimahi, Kamis (01/08).
Tri bilang sejauh ini kendala yang ditemui adalah belum ditemukannya keluarga atau kerabat Indah Hayati.
Sebab berdasarkan keterangan Tjandra – suami korban – Indah diketahui sebatang kara dan tidak ada informasi mengenai asal usulnya.
"Saat proses pernikahan saja yang diduga korban ibu [Indah] ini tidak dihadiri oleh keluarganya karena yang bersangkutan tinggal sebatang kara dan tidak ada keluarga. Jadi tidak secara pasti dia tinggal di mana dan asalnya dari mana."
Baca juga: Ibu dan Anak yang Ditemukan Tinggal Kerangka Dikenal Tertutup
Mengenai penyebab kematian, dia belum bisa menentukan.
Sementara dugaan yang beredar bahwa keduanya bunuh diri – merujuk pada wasiat berupa tulisan di dinding – Tri mengaku tak mau gegabah menyimpulkan
Ini karena di tempat kejadian, polisi belum menemukan senjata atau bahan kimia apa pun yang diduga digunakan korban untuk mengakhiri hidupnya.
"Namun kami sudah mengambil beberapa sampel tanah atau sampel air yang ada di sana untuk dilakukan proses penyelidikan."
Adapun soal tulisan di tembok, Tri mengatakan itu bisa menjadi salah satu petunjuk dugaan adanya ketidakharmonisan dalam keluarga tersebut.
Tapi sekali lagi, untuk memastikan apakah pesan itu betul ditulis oleh Indah dan anaknya, polisi memerlukan bukti pembanding.
Baca juga: Ibu dan Anak Ditemukan Tinggal Kerangka di Rumahnya, Tetangga: Terakhir Ketemu Sebelum Corona
Hingga sekarang, polisi telah memeriksa belasan saksi, termasuk Mudjoyo Tjandra. Dari hasil pemeriksaan diketahui dia pergi dari rumah itu antara tahun 2014 sampai 2015.
Usia Indah Hayati, istrinya, kala itu 45 tahun dan anaknya Elia 14 tahun.
Menurut Tri, Tjandra mengaku beberapa kali berkomunikasi dengan keluarganya dan terakhir melakukan percakapan melalui WhatsApp dengan anaknya pada 1 November 2018.
"Tapi pada Desember 2018 itu WhatsApp-nya hanya centang satu atau sudah tidak aktif," ujar Tri.
Wartawan Yuli Saputra di Bandung berkontribusi untuk laporan ini.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang