Selain rumah warga, bangunan Sekolah Dasar Negeri (SDN) GBI ikut terendam.
Biasanya, kata Ahmad, guru-guru di SDN GBI terpaksa meliburkan muridnya jika banjir datang.
"Mungkin tadi juga lihat di SD ya, itu di SD paling rendah elevasinya dibanding dengan daerah lain, wah itu perjuangan sekali karena yang sekolah bukan warga sini saja, ada warga daerah lainnya juga," ujar dia.
Ahmad membenarkan bahwa sudah hampir 15 tahun Kompleks GBI dilanda banjir.
Dia menyebut, tahun 2010 banjir sudah melanda, tetapi pada saat itu kondisi Sungai Cipeso masih terbilang normal sehingga air terbilang cepat surut.
Dia menjelaskan, tahun 2015 banjir di Kompleks GBI mulai terbilang mengkhawatirkan.
Saat itu, sedimen Sungai Cipeso sudah mulai meninggi, maka apabila hujan dan debit air tidak tertampung, empat RW di Kompleks GBI terdampak.
"Dulu, debit dan sedimentasi Cipeso masih normal. Sekarang lumpur, sedimentasinya tinggi, jadi otomatis luapannya itu lebih tinggi gitu. Ya harapan kami ini dari pemerintah adanya normalisasi Sungai Cipeso karena kan titik utamanya penyebab banjir di daerah kami itu ya Sungai Cipeso," ucapnya.
Sejauh ini, kata dia, aktivitas normalisasi sungai Cipeso jarang dilakukan;
Adapun aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah setempat hanya membersihkan rumput di sekitaran sungai.
"Rutinitas normalisasi ya cuma pengerjaan pembabatan rumput aja gitu. Jadi, pengerukan enggak ada. Nah, itu ya harapan warga kami itu sampai ke pengerukan gitu. Jadi, supaya signifikan ketika hujan datang, aliran lancar gitu," tutur dia.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang