Menurut Ayi, asap batu bara biasanya turun pada malam hari. Akibatnya, warga sering mengalami batuk, dan debu tebal menempel di perabotan rumah.
“Anginnya bau kalau sudah ada asap datang, debunya sangat tebal, apalagi di plafon, tebal banget. Semalam saya merasa gatal, saya cek ternyata asap lagi turun,” tutur Ayi.
Ayi juga mengatakan, awalnya pihak pabrik meminta izin ke warga untuk membangun gudang, tapi yang berdiri adalah pabrik. Selain itu, pabrik semula berjanji hanya beroperasi sampai pukul 17.00 WIB, tetapi kenyataannya beroperasi hingga pukul 23.00 WIB.
“Jadi warga tuh sering mengeluhkan ke pengurus, terus diadukan. Pada kenyataannya, pihak kelurahan juga enggak mampu. Warga sudah komplain beberapa kali, tapi da warga ada istilah susah lawan orang yang punya uang mah,” ucapnya.
“Ini kalau sudah ada aduan warga tuh, pasti yang diajak audiensi itu cuma pengurus saja. Kemudian banyak juga warga mengeluhkan banyak pegawai pabrik yang bubar pakai jalur warga, bukan jalur pabrik,” lanjut Ayi.
Ayi menyebut Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung sempat datang untuk inspeksi. Namun, saat itu blower pabrik dimatikan.
“Sempat ada sidak dari DLH, tapi sering sudah mati si blower-nya. Kalau DLH sudah pergi, baru dinyalakan lagi,” katanya.
Pihak perusahaan, lanjut Ayi, sempat memberi kompensasi berupa air bersih kepada warga. Namun, air tersebut tidak bisa digunakan untuk minum karena bercampur sedimen lumpur.
“Kalau ngasih ya ngasih air, tapi da kondisi airnya begitu. Harus disaring dan enggak bisa dipakai minum, paling cuci baju dan mandi saja, karena kalau enggak disaring ya kebawa lumpurnya,” ujar Ayi.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang