BANDUNG, KOMPAS.com - Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kabupaten Bandung, Atty Rosmiati, mengungkapkan alasan melaporkan kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, terkait Rombongan Belajar (Rombel) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
Salah satu alasan utama adalah dampak negatif terhadap nasib ribuan guru SMA dan SMK bersertifikasi di Kabupaten Bandung.
"Ini kan berdampak sangat serius untuk keberlangsungan guru-guru yang sudah disertifikasi. Dengan berkurangnya siswa, otomatis jam mengajar pun berkurang," ungkap Atty saat dihubungi melalui sambungan telepon pada Kamis (7/8/2025).
Baca juga: 8 Organisasi Sekolah Swasta Gugat Dedi Mulyadi, Disdik Jabar Yakin Menang
Atty khawatir, pada pencairan triwulan ketiga, guru-guru bersertifikasi tidak akan mendapatkan haknya.
Saat ini, sambung Atty, daya tampung penerimaan siswa baru di sekolah swasta menurun signifikan setelah kebijakan Dedi Mulyadi diterapkan.
Banyak guru swasta bersertifikasi terpaksa mencari jam tambahan di sekolah lain untuk memenuhi kebutuhan hidup.
"Nah, yang sekarang yang 3 bulan ke depan pasti akan berdampak. Mungkin kalau negeri, mau siswa berapa pun enggak masalah karena negara sudah menjamin kehidupan," tambahnya.
Ia mencatat, ribuan guru bersertifikasi di sekolah swasta saat ini bukanlah guru muda. Mereka merupakan guru yang telah mengajar lebih dari 15 tahun.
"Kalaulah memang Gubernur tidak menginginkan kami, ya dari awal tidak usah diberikan kesempatan untuk sertifikasi. Kami itu kalau kehidupan kami ke depan mau seperti apa, gitu," tuturnya.
Baca juga: Santai Digugat Organisasi Sekolah Swasta, Dedi Mulyadi: Cermin Gubernur Bekerja
Ia menyebutkan, pihak swasta tidak dilibatkan dalam perencanaan program tersebut.
Setelah diterbitkannya Keputusan Gubernur Nomor 43 tentang Penambahan Rombel, banyak pemilik yayasan swasta di Kabupaten Bandung mulai mengeluhkan dampak program itu.
Atty menegaskan, jika program Gubernur Jawa Barat ini terus berlanjut, lambat laun akan menghabisi sekolah swasta, padahal sekolah negeri sering kali membutuhkan keberadaan sekolah swasta.
"Kalau memang kami mau dihabisi, ya sudah jelas-jelas saja programnya untuk menghabisi swasta," tegasnya.
Atty juga mengungkapkan bahwa dua Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kabupaten Bandung terpaksa tutup akibat program tersebut.
"Dua sekolah kalau di SMK mah. Datanya sudah akurat karena kami sudah bolak-balik melakukan verifikasi," katanya.
Atty berharap, jika program tersebut bertujuan untuk memutus mata rantai anak putus sekolah serta demi kepentingan masyarakat, maka kebijakan Dedi Mulyadi mesti dikaji ulang dan melibatkan pihak swasta.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang