SUKABUMI, KOMPAS.com - Masjid Al-Jabar di Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, diwarnai dengan isu praktik mafia tanah. Salas seorang yang mengaku menjadi korban adalah mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Sukabumi, Deden Achadiyat.
Deden mengeklaim memiliki tanah seluas 3 hektar, yang terdiri dari 19.670 meter persegi bersertifikat dan 8.893 meter persegi berstatus girik.
Dugaan praktik mafia tanah ini muncul jauh sebelum rencana pembangunan Masjid Al-Jabbar pada tahun 2016.
Baca juga: Pengelola Masjid Raya Al Jabbar Gratiskan Biaya Parkir
Menurut Deden, seorang wanita berinisial Hj M berniat membeli tanahnya seharga Rp 1,5 juta per meter persegi.
Kesepakatan transaksi dilakukan dengan cara pembayaran bertahap, total mencapai Rp 42 miliar.
“Yang pertama saya ketahuannya tahun 2023. Saya dulu itu (2016) serahkan (jual beli tanah) kepada keponakan, jadi saya tidak berhadapan langsung dengan pembeli. Yang jelas saya tahu bahwa tanah itu akan dibeli dengan harga Rp 1,5 juta per meter, akhirnya saya serahkan kepada keponakan anak kakak saya Y,” ungkap Deden saat ditemui di kediamannya di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu (16/8/2025).
Baca juga: Usai Kasus Pungli di Masjid Al Jabbar, Pengelola Pasang Spanduk dan Baliho Imbauan
Proses transaksi berlangsung dengan pembayaran tiga tahap yang disepakati Hj M.
Ia hanya membayar uang muka sebesar Rp 2 miliar dan cicilan pertama sebesar Rp 8 miliar. Namun hingga waktu yang disepakati, sisa pembayaran belum dilunasi.
Deden mengaku bahwa transaksi tersebut baru dibayar lunas setelah Hj M menerima uang ganti rugi dari pengadaan tanah untuk pembangunan masjid.
Deden menduga adanya praktik mafia tanah yang melibatkan sejumlah pihak, sehingga pemilik asli tanah tidak dapat menikmati harga yang seharusnya dari uang ganti lahan.
Dugaan tersebut diperkuat oleh dokumen yang menunjukkan adanya pergantian kepemilikan tanah yang tercatat pada tahun 2012, sementara transaksi dengan Hj M terjadi pada tahun 2016.
“Karena ini adalah perbuatan melawan hukum yang merugikan saya sebagai pemilik, saya menggugat perdata ke pembeli, notaris, Gubernur sebagai pengguna anggaran, dan BPN karena tidak melakukan tugas dengan benar seperti memvalidasi,” kata Deden.
Perkara perdata tersebut terdaftar dengan nomor 328/Pdt.G/2025/PN Bdg, dengan jenis perkara berupa perbuatan melawan hukum.
Deden mengaku telah menempuh berbagai upaya untuk mencari keadilan, namun hingga kini belum juga merasakannya.
Ia juga telah melaporkan kasus ini secara pidana sejak tahun 2024.
Meski melibatkan keluarga dan pihak lain, Deden tetap merasa benar dan melanjutkan gugatan.
Ia juga terbuka untuk melakukan musyawarah jika hal tersebut bisa membawanya pada keadilan yang diharapkan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang