BANDUNG, KOMPAS.com - Siang belum genap membuka tirai cahaya ketika Dayeuhkolot kembali terjerembap dalam genangan.
Seakan alam menulis ulang kisah lama yang tak kunjung tamat, air merayap perlahan, menutupi halaman rumah, merayap ke ruas-ruas jalan, hingga akhirnya menyesaki denyut kehidupan warganya.
Di balik tembok-tembok yang mulai kusam, hidup warga di Kampung Leuwi Bandung, Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, seperti ditahan dalam sebuah jeda panjang.
Mereka bangun bukan untuk menyambut hari, melainkan untuk memastikan apakah malam telah membawa air lebih tinggi dari kemarin.
Seperti yang dirasakan Robert Sirait (55), warga Kampung Leuwi Bandung, RT 07 RW 01, Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot, seorang Ayah yang telah empat kali berhadapan dengan banjir hanya dalam rentang dua bulan.
Baca juga: Banjir Terjang Dayeuhkolot Bandung, Air Capai 1,5 Meter dan Lumpuhkan Aktivitas Warga
"Hidup kami ini seperti perahu bocor, banjirnya datang terus kalau musim hujan," ujarnya lirih, ditemui Jumat (5/12/2025).
"Air yang kemarin sudah pergi, sekarang datang lagi, bersih-bersih lagi rumah," katanya sambil membersihkan teras warungnya.
Bagi warga Kampung Leuwi Bandung, banjir bukan lagi tamu tak diundang—melainkan penghuni lain yang menuntut tempat, tak kenal malu, tak kenal waktu.
Setiap deras hujan, mereka seperti berjudi dengan takdir: antara bertahan atau kembali mengevakuasi diri.
"Kalau disebut capek, lelah, sudah pasti karena kondisi ini jauh berbeda dengan pertama saya tinggal tahun '98," ujarnya.
Usai teras rumahnya yang sudah separuh kering, Robert duduk di kursi plastik yang mengapung setinggi mata kaki.
Dia memandang jauh ke luar pintu, seolah mencari jawaban pada arus yang tak pernah benar-benar diam.
"Kami enggak nyerah, tapi kalau dibilang capek ya pasti, banjir menguras energi dan pikiran," ujarnya.
Kondisi Kampung Leuwi Bandung, Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang terendam luapan sungai Citarum, Jumat (5/12/2025)Di sepanjang jalan sempit menuju Kampung Leuwi Bandung, air memantulkan wajah-wajah yang mulai kehilangan warna.
Namun, mereka tetap berjalan, menembus dingin yang menggigit betis, karena hidup tetap menagih kewajibannya: bekerja, mencari nafkah, menjaga keluarga tetap makan.