Tubuh-tubuh yang selama ini kuat mulai menua oleh kepasrahan yang berkepanjangan.
Pada siang yang suram, suara azan memantul dari Masjid Agung Dayeuhkolot, menyapa air yang menggenang di pelataran.
Suara itu seperti seruan untuk tetap memeluk harapan, meski langit terus mengancam dengan tumpahan barunya.
Di tengah gelombang kecil yang merayap, warga saling bergandeng mata.
Ada kehangatan di antara derita yang tak berkesudahan—kehangatan yang hanya dimiliki mereka yang telah lama berbagi luka bersama.
Beberapa pemuda kampung bergiliran mendorong gerobak berisi air minum dan makanan instan.
Mereka bergerak dari rumah ke rumah, seakan menjadi denyut terakhir bagi kampung yang sedang ditahan oleh air.
Di sela kepungan banjir, Kampung Leuwi Bandung bukan hanya tempat yang menanggung bencana; ia juga rumah bagi keteguhan yang menerangi kegelisahan.
Warga menolak menyerah, meski setiap langkah yang mereka ayun terasa seperti menentang permukaan sungai yang tak pernah reda.
"Kami bosan, itu benar. Tapi, kalau bukan kami yang bertahan, siapa lagi yang menjaga kampung ini tetap hidup?" kata Robert.
Pada akhir hari, cahaya sore menguning di permukaan air, menciptakan kilau yang menipu mata—indah, tetapi menyimpan luka.
Dan warga hanya bisa berharap esok tidak seburuk hari ini, meski harapan itu semakin rapuh...
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang