Editor
Saat wawancara, Rasminah didampingi putrinya, Julina, yang saat ini duduk di bangku sekolah menengah kejuruan.
Julina mengaku banyak belajar dari ibunya yang menjadi korban pernikahan usia anak.
“Mama selalu bilang, sudah cukup ia saja yang jadi korban kawin anak. Jadi sekarang saya mau sekolah dulu. Mau dapat pekerjaan bagus,” ujarnya bersemangat.
Saat ini putra pertama Rasminah, Taryamin, sudah bekerja. Sedangkan Julina duduk di bangku kelas I SMK dan Wika di kelas VI sekolah dasar.
Anak kelima Rasminah, Ade, saat ini masih TK dan si bungsu Anita masih belum sekolah.
Baca juga: Pasangan Pelajar SMP di Buton Resmi Menikah, Kepala KUA: Tidak Ada Kendala, Semua Lancar...
Selepas revisi UU Perkawinan itu, semua elemen bergerak cepat melakukan beragam upaya untuk mencegah terus terjadinya perkawinan anak di bawah umur.
Mereka kemudian menyusun kebijakan “Perlindungan Khusus Anak Terpadu Berbasis Masyarakat” PATBM – termasuk di dalamnya strategi penurunan kekerasan terhadap anak dan pekerja anak, penguatan kelembagaan, penyediaan layanan hingga ke tingkat akar rumput dan tentunya kampanye.
Menurut Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin, sinergi itu membuat kasus baru kawin anak mulai turun.
"Memang perlu waktu dan kalau dilihat dari tren angkanya, memang terjadi penurunan, tapi tidak tajam sekali," kata Lenny.
Baca juga: Cerita di Balik Pasangan Kekasih Pelajar SMP di Buton Daftar Nikah di KUA
Pada tahun 2017, angka perkawinan anak di Indonesia mencapai 11,54 persen dan secara perlahan mulai turun menjadi 11.
Angka berubah menjadi 21 persen pada tahun 2018, 10,82 persen pada tahun 2019, dan 10,19 persen pada tahun 2020.
Namun, ia kemudian memaparkan, ada 22 provinsi di Indonesia dengan angka kasus perkawinan anak masih tinggi, yakni Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah.
Selain itu, termasuk Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, Jambi, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Papua Barat.
Baca juga: Sepasang Pelajar SMP di Buton Selatan Menikah, Sempat Ditolak KUA, Menang di Pengadilan Agama
Kemudian, ada Gorontalo, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Lampung, Papua dan Jawa Timur.
"Ini semua berada di atas angka nasional. Jadi perlu ekstra tindakan, ekstra regulasi, ekstra program, dan kegiatan untuk masing-masing provinsi ini agar bisa melakukan upaya yang konkret untuk menurunkan perkawinan anak,” ujar Lenny.