Namun, saat Covid-19 melanda, tempatnya bekerja tutup seiring dengan kebijakan pembatasan yang dikeluarkan pemerintah.
Dua bulan kemudian, ia kembali ke Bandung karena dijanjikan tempat pijat kembali beroperasi.
Namun, ternyata tempat pijat tetap tutup, bahkan sampai sekarang.
Saat itu, ia memilih bertahan di kontrakan ukuran 5x5 meter dengan perasaan resah yang kadang menghampiri.
Baca juga: Pilu Nenek Pairah, Tunanetra yang Tinggal Seorang Diri di Rumah Tak Layak
Suatu hari, langganannya menghubungi dirinya.
Ia pun memutuskan untuk menerima pijat di kontrakannya. Lagi-lagi, pandemi tidak menguntungkannya.
Dalam sepekan, paling hanya ada 2-3 orang yang pijat.
Bayarannya Rp 60.000 per jam.
Dalam sebulan, penghasilannya bisa mencapai Rp 480.000.
Namun, angka itu jauh lebih kecil dari biaya sewa kontrakan sebesar Rp 600.000 per bulan.
Tak kehilangan akal, Soni memilih berjualan makanan ringan.
Namun, penghasilannya masih tidak sesuai ekspektasi.
"Malah banyak yang enggak lakunya. Jadi saya enggak lama jualan makanan ringan," tutur dia.
Untungnya, bantuan dari donatur ataupun pasien yang dipijat selalu ada.
Setidaknya, ia tidak pernah merasa kekurangan makanan. Sebab, bantuan makanan selalu datang.
"Tapi, anehnya tidak ada bantuan dari pemerintah," kata Soni.
Bantuan pemerintah hanya ada untuk anaknya yang duduk di kelas VII SMP.
Sang anak mendapatkan bantuan lewat Kartu Indonesia Pintar (KIP).