"Mereka mengakui banyak yang terinsipirasi oleh saya, karena pendidikan saya, kendati saya tunanetra. Nah, konsep bermanfaat yang saya dan Kang Deni tanamkan tidak hanya untuk satu hal, baik dari seninya, pendidikannya, agamanya, itu juga kami lakukan. Makanya di sini juga santrinya pada kami kuliah kan," ungkapnya.
Sejauh ini pesantren binaannya sudah mencetak 12 penghapal Al-Quran. Kendati baru 4 orang yang hapal full 30 juz. Ridwan mengaku tak membiarkan santri yang lain patah arang.
"Sisanya ada yang 20 juz, ada yang 15 juz, jadi ada 12 orang-lah," jelasnya.
Tak hanya itu, di pesantren tersebut, para santri diajarkan juga tentang ilmu Teknologi Informasi.
Bahkan, guru atau pengajarnya merupakan salah satu jebolan santri Pesantren Tahfidz Tunanetra Sam'an Darushudur.
"Sekarang juga tunanetra sudah ahli IT, seperti Edi salah satu guru kita yang ahli coding. Nah, satu hal yang kita banggakan, dari hasil kerja sama dengan salah satu perusahaan, kita diberi kesempatan, jadi santri kita bisa bekerja menjadi ahli IT nya di perusahaan itu," ungkapnya.
Perkembangan, Pesantren tunanetra ini tak bisa diremehkan. Penggunaan media sosial, YouTube, Instagram, Website sudah mulai digunakan untuk media pemasaran.
"Kita juga pakai sosial media, ada juga aplikasi WA untuk memberitahukan masyarakat luas bahwa pesantren ini ada," imbuhnya.
Tak sampai disitu, aktivitas para santri pun sangat berkualitas. Ridwan menyebutkan sejak pukul 03.30 pagi santri sudah memulai aktivitas dengan tahajud.
Dilanjutkan dengan salat subuh berjamah, baca dzikir, lalu istirahat untuk persiapan yang lain seperti belajar. Ada juga di hari tertentu kegiatan senam.
Pesantren Tahfidz Tunanetra Sam'an Darushudur juga memiliki dua jurusan yakni jurusan Mubalig dan Tahfiz.
"Di kita ada dua jurusan, ada jurusan menjadi Mubalig ada juga jurusan menjadi Mubaligh tapi tetep Mubalig juga wajib menghapal standarnya 3 juz. Untuk yang tahfiz harus hapal 30 juz dalam kurun waktu 3 tahun," jelasnya.
Pendidikan Inklusif
Selain itu, pengalaman pahit yang pernah dijalaninya membuat Ridwan menerapkan konsep pendidikan inklusif.
Baginya berbaur dengan masyarakat pada umumnya, adalah satu cara agar tak ada jarak baik penyandang tunanetra dan yang tidak.
"Di sini juga kita membangun pendidikan inklusif, dengan masyarakat juga membaur tidak eksklusif, jadi kadang Imam Masjidnya juga dari masyarakat ada," jelas dia.
Saat ini ada 25 santri yang belajar di Pesantren Tahfiz Sam'an Darushudur. Dalam waktu dekat, kata dia, penerimaan santri baru akan dimulai.
"Jumlah santri, laki-laki 18 orang, perempuan 7. Sekarang mau penerimaan baru dan santri perempuannya agak banyak, kita juga terbatas untuk tempat tinggal," bebernya.
Kendati saat ini, fungsi pendengaran atau audio lebih dikedepankan. Ridwan mengaku, dunia Braille tetap akan ia pertahankan.
Bukan hanya sebagai sejarah, namun sebagai cara untuk merawat agar semangatnya di masa sebelumnya tetap hidup.
"Saat ini Braille agak ditinggalkan, karena fungsi pendengaran yang dikedepankan. Memang saat ini audio dan speaking lagi di kedepankan, perabaan ditinggalkan, kalau di sini enggak kita gabung keduanya," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.