Ebit mengakui, ada Sub DAS Cimanuk lain yang meluap, namun karena bantaran sungainya bukan kawasan penduduk, dampaknya relatif kecil.
Satu kesamaan dari karakter banjir kali ini, menurutnya adalah hulu sungai-sungai yang meluap, semuanya ada di kawasan Gunung Cikuray yang statusnya adalah hutan lindung.
“Ini jadi satu tanda kerusakan Gunung Cikuray, makanya dari dulu kita meminta agar status gunung cikuray bukan lagi hutan lindung, tapi hutan konservasi atau dijadikan taman nasional,” katanya.
Yudi Indratno, koordinator Kelompok Kajian Masyarakat Peduli Bencana menilai, selain masalah tata kelola kawasan yang jadi hulu sungai, banjir bisa menjadi siklus bagi kawasan perkotaan di Garut karena tidak adanya tata ruang yang jelas di kawasan perkotaan.
Akibatnya, pembangunan fasilitas kota, banyak yang tidak berwawasan lingkungan.
“Contoh kecilnya pembangunan alun-alun Garut. Dulu alun-alun jadi daerah resapan air di kawasan kota, bisa mengurangi run off, alun-alun sekarang, semua dibeton, air langsung disalurkan ke saluran air utama, padahal besar saluran air dari dulu ukurannya segitu (tidak diperbesar),” katanya.
Yudi melihat, kurangnya kawasan serapan air di perkotaan, bisa jadi pemicu banjir karena air tidak bisa terserap ke tanah dan mengalir ke saluran air. Sementara, saluran air yang ada, tidak pernah disesuaikan kapasitasnya dengan potensi debit air.
“Solusinya, harus banyak sumur bio pori dibuat agar run off berkurang, jadi tidak semua mengalir ke saluran air, kalau saluran air kecil, daya tampungnya sedikit, belum potensi tersumbat oleh sampah,”katanya.
Daerah resapan air di perkotaan, menurut Yudi sebenarnya bisa diatur oleh pemerintah daerah lewat Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang merupakan turunan dari Rencana Umum Tata Ruang (RUTR). Sayangnya, hingga saat ini belum ada satu kecamatan pun di Garut yang memiliki RDTR.
“Tiap tahun ada kajian soal RDTR, tapi tidak sampai jadi Perda RDTR, harusnya sejak banjir bandang 2016 RDTR sudah dibuat,” kata Yudi yang juga konsultan pembangunan di Garut.
Baca juga: Banjir di Teluk Bintuni, Tempat Ibadah dan Fasilitas Umum Terendam
Yudi melihat, ada dua langkah besar yang bisa diambil pemerintah daerah dalam upaya mitigasi bencana banjir di kawasan perkotaan, yang pertama adalah mengembalikan fungsi kawasan yang jadi hulu sungai yang melintasi kawasan perkotaan dan yang kedua adalah melakukan penataan kawasan kota secara terencana lewat RDTR.
Asep Hermawan, aktivis sosial Kabupaten Garut melihat, banjir bandang Sungai Cimanuk dan banjir kali ini, harusnya cukup jadi peringatan bagi pemerintah tentang kondisi lingkungan di Garut yang telah mengalami degradasi yang cukup jauh, terutama kondisi hutan dan gunung.
“Bencana sebesar apa lagi yang bisa menyadarkan pemerintah, harusnya mereka sadar dan kemudian mengambil langkah-langkah strategis merehabilitasi lingkungan,” katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.