"Ya gimana lagi, banjir, airnya masuk ke ladang dan sebagian ada yang rusak, kita selamatkan yang masih bagus aja," ungkapnya.
Akibat banjir yang kerap melanda, kini satu petak sawah hanya bisa menghasilkan 17 karung goni atau sekitar Rp 5 juta.
Dengan jumlah itu, Eti hanya bisa membiayai biaya produksi perawatan saja, tanpa membawa keuntungan lebih ke rumah. Kondisi itu tidak sebanding dengan kebutuhan hidup yang semakin melejit.
Melihat ini, Eti hanya bisa pasrah. Bagaimana pun ia dan petani lainnya mesti tetap memanen padi agar bisa bernapas menjalani hari-hari.
Sejauh ini, belum ada solusi konkret terkait persoalan yang melanda para petani ketika hujan melanda.
"Kita hanya bisa mengecek sawah di petak mana yang tidak terdampak, berarti yang di situ yang bisa menghasilkan," tambahnya.
Melemahnya produktivitas petani tak hanya disebabkan cuaca ekstrem, namun juga belum diperbaikinya saluran irigasi.
Sejauh ini saluran irigasi untuk meningkatkan produktivitas petani masih terhambat. Beberapa di antaranya sudah tertutupi benteng-benteng pabrik dan perumahan.
Eti mengatakan, saluran irigasi penting bagi pertumbuhan petani. Pasalnya aliran air bersih yang cukup akan menjamin kualitas padi yang baik pula.
"Jumlah panen kita pasti meningkat, kalau ada pembaruan jalur irigasi buat sawah, karena itu pentingkan," terang dia.
Ia masih mengingat betul, saat pemerintah Desa Tegalluar membangun saluran irigasi untuk petani beberapa tahun silam. Saat itu, jumlah produksi langsung naik drastis.
"Ya kita bisa membawa untung yang cukup dan biaya perawatan juga tertutupi, tadi yang saya jelaskan itu jumlahnya sama dengan waktu pembangunan saluran irigasi ditambah dan diperbaharui," bebernya.
Eti dan petani lainnya juga digalaukan dengan lahan pertanian yang kian lama kian menyusut.
Ia mengingat betul, tahun 2003, lahan sawah di wilayahnya lebih dari 2.000 hektar.
"Sekarang dapet ngitung lagi pihak Desa, katanya sekarang tinggal 725 hektar, itu katanya dari 2003 ke 2017," tutur Eti.