Menyusutnya lahan pertanian, tak terlepas dari lajur pembangunan yang kian kencang.
Mulai dari kawasan pemukiman baru, industri, hingga proyek strategis Nasional seperti Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), jalan tol, dan sekarang Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).
"Tahu sendiri, kemarin katanya ada Presiden ke sana ke kereta, itu juga menghambat pertumbuhan kita para petani, belum lagi hal-hal yang lainnya," ungkap dia.
Ia dan yang lainnya hanya bisa pasrah ketika mendengar adanya pembangunan baru yang berdekatan dengan ladang sawah.
Saat ini, hanya tinggal menghitung jari, petani yang memiliki lahan sendiri. Eti menjelaskan, rata-rata lahan yang dimiliki petani dijual karena produktivitas petani mulai menurun.
"Pada dijual akhirnya, gimana lagi mungkin keputusan yang berat tapi mau gak mau harus tetep bertahan, jadi sekarang mah tinggal sedikit," kata Eti.
Langkanya Pupuk Subsidi
Derita Eti tak berhenti, di perjalanan ia juga harus menerima pil pahit bahwa pupuk yang selama ini menjadi bahan penting pertanian terus naik harga.
Sejumlah petani, sambung Eti, terpaksa harus membeli dengan harga cukup mahal untuk mendapatkan pupuk bersubsidi.
Tak jarang, para petani baik di wilayahnya atau wilayah lain kelimpungan mendapatkan pupuk bersubsidi untuk memupuk tanaman padi miliknya.
Pupuk bersubsidi di kios desanya banyak yang kosong. Bahkan hal itu juga terjadi hingga di luar desanya.
"Saat ini pupuk subsidi sulit, saya juga sudah cari ke mana-mana di kios-kios yang ada di luar desa, tapi tidak ada stok, kalau pun ada harganya mahal," ungkapnya.
Menurutnya, pada musim tanam saat ini lahan garapannya membutuhkan lima paket pupuk bersubsidi yang terdiri dari Urea, NPK, Phonska dan Organik.
Namun, sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi saat ini mengharuskannya membeli pupuk dengan harga cukup mahal.
"Kalau yang bersubsidi harganya satu paket Rp 260.000, tapi kalau tidak ada dan saya butuh gini, harga Rp 400.000, per paket tetap saya beli," ungkapnya.