BANDUNG, KOMPAS.com - Pria berkemeja biru tampak bingung. Kerut dahinya menggambarkan itu semua.
Wajar saja, sejak subuh, belum ada satu pun penumpang kereta api yang mau menaiki taksinya.
Baca juga: Jadi Porter Sejak 1988, Anwar Sukses Sekolahkan Anak sampai Perguruan Tinggi
Meski begitu, ia tetap tenang. Sebatang rokok kretek yang dihisapnya seolah menyadarkannya bahwa perlu ketenangan dan kesabaran lebih untuk bisa mendapatkan penumpang.
Baca juga: Kisah Edy, 27 Tahun Banting Tulang Jadi Kuli Angkut di Pasar Bukittinggi, Mampu Kuliahkan 4 Anaknya
"Emang saya kalau udah shalat subuh di rumah, langsung ke sini. Aktivitas memang gitu sejak dulu," kata Nazarudin, saat berbincang dengan Kompas.com, di Stasiun Kereta Api Bandung, Jumat (17/3/2023).
Kendati gelisah lantaran belum mendapatkan penumpang, Nazarudin tak menolak saat Kompas.com mencoba menggali perjalanannya sebagai sopir taksi konvensional di Stasiun Kereta Api Bandung, Jawa Barat.
Perjalanan Nazarudin dimulai ketika sang ayah meninggal saat Nazarudin menginjak kelas 3 SMP.
Saat itu, ia tak punya pilihan selain berupaya membantu sang ibu untuk mencari uang guna biaya hidup sehari-hari.
Keahlian tak punya, apalagi keterampilan. Namun, semua itu tak menjadi halangan baginya agar bisa membantu perekonomian keluarga.
Nazarudin kecil langsung belajar mengendarai mobil. Keputusan itu diambil lantaran dia berpikir hanya itu yang bisa dilakukan di saat usia yang masih terbilang dini dan keadaan yang menjepit.
"Semua dimulai tahun 1983, karena memang saya putus sekolah dari kelas 3 SMP. Ayah saya udah meninggal, jadi saya harus bantu ibu saya. Waktu itu saya belajar nyetir, akhirnya saya narik taksi aja di stasiun," jelasnya.
Saat itu kondisi transportasi publik belum seperti sekarang. Pemilik kendaraan roda empat masih terbilang jarang.
Profesi sebagai sopir taksi era itu sangat menjanjikan. Apalagi, taksi yang mangkal di stasiun kereta api.
Saat itu merupakan masa keemasannya, zaman di mana kendaraan umum seperti taksi menjadi primadona bagi wisatawan yang datang berkunjung ke Kota Bandung.
"Kalau dulu saya bisa dapet Rp 200.000 sampai Rp 300.000 sehari. Nilai segitu kan zaman dulu besar, bisa menafkahi keluarga sampai menyekolahkan anak ke jenjang yang tinggi," kata dia.
Pada tahun 1996, kata dia, pihak KAI mengakomodir para sopir taksi dalam sebuah wadah paguyuban.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.