CIREBON, KOMPAS.com – Sejumlah masyarakat Desa Pangkalan, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menggelar tradisi "Mapag Sri".
Mereka menggotong padi serta berbagai macam hasil panen palawija, dengan cara diarak keliling kampung.
Tua, muda, remaja, hingga anak-anak tumpah ruah berbahagia memenuhi jalan kampung Desa Pangkalan sepanjang hari. Mapag Sri merupakan ungkapan syukur atas hasil panen kali ini yang berlimpah ruah, dan utamanya Indonesia telah pulih dari Covid-19.
Baca juga: Kritik dan Sindir Jalan Rusak, Warga Cirebon Pasang Spanduk Wisata Jeglogan Sewu
Dengan pakaian adat, sejumlah perangkat Desa Pangkalan memadati ruang utama balai desa, Minggu (14/5/2023) siang. Mereka menggotong satu tandu yang berisi padi hasil panen di tahun ini.
Mereka kemudian bergerak menuju tiap batas desa, yakni Desa Bakung Kecamatan Jamblang di sisi barat, Desa Cangkring Kecamatan Plered, di Sisi Selatan, serta Desa Buyut Kecamatan Gunung Jati, di sisi timur.
Baca juga: Jalan Rusak di Cirebon Tak Kunjung Diperbaiki, Warga: Pak Jokowi Tolong ke Sini
Tak hanya padi, warga juga membawa berbagai macam hasil panen palawija dari kebun masing-masing.
Kompas.com menyaksikan beberapa hasil panen, di antaranya pisang, kelapa, singkong, ubi, tebu, waluh, dan berbagai macam lainnya.
Padi serta palawija itu diangkat di atas tandu yang unik. Pasalnya, tandu itu juga membawa sepasang muda-mudi yang didandani bak raja dan ratu masa silam.
Mereka dikalungi uang yang diikatkan dengan tali, yang menyimbolkan makna kesejahteraan dan kesuburan.
Suasana tampak meriah dengan berbagai macam replika raksasa yang mengiringi rombongan padi dan palawija. Mereka juga terus memainkan musik khas Cirebon sebagai pengiring kebahagiaan.
Arak-arakan Mapag Sri merupakan tradisi turun temurun yang digelar tiap tahun di Desa Pangkalan.
Hebatnya, acara ini tak hanya diikuti para petani, melainkan seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Pasalnya warga melibatkan anak-anak mereka untuk berpatisipasi. Anak-anak ini ikut serta menggotong arak-arakan, menaiki arak-arak, hingga memainkan piano atau musik, serta lainnya.
Mereka terlibat aktif lantaran diharapkan menjadi generasi penerus tradisi di waktu mendatang. Orangtua mereka, meski sudah menua dan sebagian renta, masih turut serta dengan suka cita.
Salah satunya Nemi, seorang ibu rumah tangga yang sudah berusia sekitar 45 tahun. Dia rela didandani menjadi petani angon sapi, kerbau, dan kambing untuk berpartisipasi. Dia mengaku sangat bahagia, karena acara ini yang ditunggu-tunggu selama satu tahun sekali.