“Ini yang sering saya kritisi dalam beberapa pertemuan, undang-undang ini sepertinya hasil direvisi. Bagaimana kita menghasilkan kesimpulan yang pas, betul betul mengacu pada yang terbaik bagi anak, belum lagi dengan penolakan warga, keluarga ABH menutup diri, dan lainya,” tambah Ari.
Contohnya di Kabupaten Majalengka, kasus perbuatan cabul yang dilakukan anak di bawah usia 12 tahun, dengan korban tiga orang yang masing-masing berusia 4, 3 dan 7 tahun. Terjadi friksi antara dua keluarga yang bertetangga, sehingga butuh waktu dan proses untuk mendinginkan suasana semua pihak.
Baca juga: Balai Pemasyarakatan Pastikan Anak Tak Didiskriminasi Saat Terjerat Kasus Hukum
Masih di Kabupaten yang sama, pelaku ABH berusia 11 tahun, sedangkan korban berusia 5 tahun. Kedua keluarga menutup diri dan menolak, sementara PK harus bisa menjembatani kepentingan terbaik bagi kedua anak.
Ada satu momen di mana tidak ada tanggal merah dalam hidupnya saat itu. Ari mendapatkan perintah untuk segera menemui tim polres terkait kasus anak menganiaya anak dengan menempelkan knalpot motor ke wajah tahun 2021 lalu.
“Saya kondisi saat itu sedang libur, ditelepon oleh pimpinan, diminta segera menghadap Kapolres Cirebon Kota karena berkenaan dengan ABH. Akhirnya karena pulang agak jauh, saya langsung ke Polres dengan pakaian seadanya, bukan pakaian kerja,” tambah Ari.
Ari menjelaskan, kasus saat itu, adalah seorang pelaku anak berusia 15 tahun menganiaya korban anak berusia 9 tahun. Kekerasan terhadap anak itu mengakibatkan luka bakar.
Hasil visum korban ada, namun pelaku sampai akhir pemeriksaan tetap tidak pernah mengakui melakukan hal itu.
“Tetapi pelaku bersikeras, tidak pernah mengakui telah melakukan penganiayaan itu. Dalam penggalian data, ternyata sudah ada konflik antara dua keluarga tersebut,” tambah Ari. Ari berusaha mencari cara lain dengan meminta aparat desa memberikan pengertian kepada keluarga anak pelaku.
“Ketika saya baru keluar dari desa, tiba-tiba beberapa rombongan motor datang, gerung-gerung, wah kaget juga saya. Daerah sana kan keras. Nyamper ke saya, ada apa pak? bapak mau apa?,” kata rombongan itu kepada Ari sambil mengulang cerita.
Mereka, kata Ari, sudah pasang wajah menyeramkan, dan jumlahnya cukup banyak. Ari merasa secara mental tertekan, namun dia tetap berusaha memberikan informasi ke mereka, hingga seluruhnya menyadari tugas-tugas PK.
Menurutnya, seorang PK harus berpikir cepat dalam kondisi kondisi terdesak. Karena kalau salah langkah, upaya membuat Litmas malah berujung konflik. Kecepatan dalam bertindak bagi PK juga sangat penting, ini skill, adanya di jam terbang, bukan sekedar knowledge.
Baca juga: Anak Berhadapan dengan Hukum di LPKA Banda Aceh Tetap Terpenuhi Haknya
Namun, karena keluarga tertutup, upaya mendapatkan banyak keterangan kembali batal, termasuk upaya diversi yang dijembatani oleh perangkat desa, aparat, dan lainnya. Dan sang pelaku anak tetap tidak mau mengakui perbuatanya, hingga akhirnya mendapatkan putusan hakim.
Ari tidak menyerah, meski akhirnya, sang anak mendapatkan hukuman dan dihukum di lapas. Namun, ada momen dramatis, saat mendampingi ABH tersebut setelah beberapa waktu di lapas anak. Sang ABH tiba-tiba menangis dan mengakui semua perbuatanya.
Ari kemudian menggunakan program asimilasi agar ABH dapat menjalani kehidupan normal seperti sebelumnya. Dia menghabiskan waktu enam hinga tujuh bulan untuk mendampingi ABH ini, yang tidak hanya satu orang diri. Karena bagi Ari, orang baik adalah yang mau mengakui kesalahannya, menanggung resiko yang telah dibuatnya, serta berjanji tidak melakukanya lagi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.