Igun menjelaskan, Kadaplak ini sudah populer jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada medio 1938, banyak dari masyarakat Bukit Tunggul memiliki Kadaplak sendiri-sendiri.
Di era itu Kadaplak dikenal bukan sebagai permainan tradisional, melainkan alat transportasi hasil pertanian.
Hasil tani itu dikirim dari kebun yang berada di atas ketinggian dan diantar ke tengkulak yang menunggu di bawah.
"Bukit ini dulunya merupakan ladang tembakau yang ditanam paksa oleh pemerintah kolonial dan digarap oleh buruh-buruh tani di antaranya orangtua-orangtua kami," papar Igun.
Baca juga: Johannes van den Bosch, Penggagas Sistem Tanam Paksa
Sementara anak-anak buruh tani itu memanfaatkan Kadaplak menjadi permainan mereka di antara waktu memanen tembakau.
"Hasil panen tembakau biasanya di angkut sore. Nah di sela-sela waktu itu orangtuanya bekerja di ladang, Kadaplak yang nganggur itu dipakai anak-anaknya untuk bermain," jelasnya.
Namun seiring waktu kebun tembakau di kaki gunung Bukit Tunggul perlahan hilang, tembakau tak lagi laku dan permainan Kadaplak pun ikut tergerus zaman.
Permainan ini bukan hanya sekadar permainan biasa, ada nilai budaya dan nilai sejarah yang harus lestari untuk menguatkan identitas suatu daerah.
Kadaplak memiliki nilai edukasi bagi generasi selanjutnya, salah satunya tentang sejarah kolonialisme di Desa Suntenjaya.
"Agar ini gak cuma jadi cerita, kami harap Kadaplak ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB). Dengan begitu Kadaplak bisa tetap lestari," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.