Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petani Menjerit karena Tengkulak, Terjepit karena Lahan Menyempit

Kompas.com - 05/03/2024, 05:42 WIB
Firman Taufiqurrahman,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

CIANJUR, KOMPAS.com – Lupa kapan tepatnya Unar mulai bertani. Seingatnya, pria berusia 65 ini sudah menanam padi sejak awal 1980-an.

Menurut warga Pamokolan, Karangtengah, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat ini, kondisi pertanian telah berubah drastis kurun dua dasawarsa terakhir.

Baca juga: Saat Petani Padi Berebut Jadi Buruh Angkut untuk Mencukupi Kebutuhan...

Dibandingkan sekarang, Unar mengaku kondisi dulu masih lebih baik. Petani memperoleh hasil panen yang melimpah dengan harga jual gabah yang tinggi.

Baca juga: Petani di Lumajang Masih Jauh dari Sejahtera meski Harga Beras Naik

Tak hanya itu, pupuk juga mudah didapat, tidak seperti sekarang yang harganya selangit.

Kalaupun bisa mendapatkan pupuk dengan harga murah atau yang bersubsidi, petani harus mengikuti sejumlah regulasi dan dibatasi.

Selain masalah klasik tersebut, luas sawah juga semakin menyempit akibat alih fungsi lahan yang masif serta minat masyarakat yang menurun drastis.

Di lingkungan Unar sendiri, nyaris tidak ada petani dari kalangan muda atau usia produktif. Rata-rata mereka berusia setengah abad bahkan sudah lanjut usia.

“Paling sekarang yang tersisa tinggal 20 orang-an saja. Kalau dulu masih banyak, yang muda-muda juga pada mau nyangkul. Sekarang mah kayaknya pada gengsi,” kata Unar kepada Kompas.com, Senin (4/3/2024) petang. 

Sistem tengkulak

Unar menilai, menurunnya ketertarikan masyarakat untuk bertani atau menjadi petani bukan tanpa sebab.

Alasan utamanya dari penghasilan. Terlebih, petani juga masih belum bisa berdikari karena belum bisa lepas dari sistem tengkulak. 

Seorang petani di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat tengah memeriksa kondisi sawahnya yang baru ditanami padi, Senin (4/3/2024) petang.KOMPAS.COM/FIRMAN TAUFIQURRAHMAN Seorang petani di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat tengah memeriksa kondisi sawahnya yang baru ditanami padi, Senin (4/3/2024) petang.

Para tengkulak ini tak hanya membeli gabah dari petani saat musim panen, tetapi juga memposisikan diri sebagai pemodal. 

“Kadang petani diberi modal dulu buat biaya tanamnya. Tapi, nanti hasil panennya harus dijual ke sana. Kalau kita dapatnya (untung) ya dari selisih hasil panen itu,” ucap Unar. 

"Idealnya memang kita yang jual langsung. Kalau dulu itu masih bisa dan banyak yang begitu, kalau sekarang kayaknya susah, ya itu tadi kondisinya (sistem tengkulak),” sambung dia. 

Unar mencontohkan, untuk biaya produksi termasuk belanja bibit dan pupuk dengan lahan setengah hektare, dibutuhkan biaya sebesar Rp 5 juta. 

Besaran modal tersebut, setengahnya merupakan pinjaman dari tengkulak. 

“Kalau lahannya sewa, ya lebih besar lagi biayanya. Rata-rata sewanya Rp 12 juta per hektare untuk satu kali musim tanam. Kalau saya sendiri tidak sewa, tapi maparo, bagi hasil (panen) sama yang punya lahan," ujar Unar.

Hasil panen tak sesuai

Seorang petani di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat tengah memeriksa kondisi sawahnya yang baru ditanami padi, Senin (4/3/2024) petang.KOMPAS.COM/FIRMAN TAUFIQURRAHMAN Seorang petani di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat tengah memeriksa kondisi sawahnya yang baru ditanami padi, Senin (4/3/2024) petang.
Dindin (47), petani asal Munjul, Kecamatan Cilaku, Cianjur, ini baru sepekan menanam padi di atas lahan seluas 5.000 meter persegi. 

Namun, sawah setengah hektar itu bukan miliknya, melainkan sewa.

Dindin harus mengeluarkan biaya Rp 6 juta untuk sewa lahan selama musim tanam atau hingga lima bulan ke depan.

Namun, Dindin tak membayarnya langsung di muka. Biaya sewa tersebut akan dibayar dengan gabah saat panen nanti.

Alhasil, saat panen tiba, Dindin mengaku kadang sama sekali tidak mendapatkan hasil, terlebih ketika harga jual gabah anjlok.

“Setiap musim panen rata-rata bisa dapat Rp 1,5 juta untuk luasan setengah hektare itu. Tapi kadang malah nombokan (minus), sering malah,” kata Dindin.

Pasalnya, penghasilannya itu masih harus dikeluarkan sebagai penambah modal untuk musim tanam berikutnya.

“Makanya kalau tidak punya penghasilan sampingan, ya petani-petani seperti kita ini repot,” ucapnya.

Karena itu, selama masa tanam, Dindin juga menanam sayuran dan palawija, bahkan terkadang kerja serabutan menjadi buruh bangunan.

Dindin dan Unar berharap, pemerintah lebih peduli terhadap nasib petani yang selama ini dirasakan mereka masih termarginalkan, baik oleh regulasi maupun kondisi ekonomi dan sosial yang ada.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dinas Pendidikan Jabar Perketat Aturan 'Study Tour' Imbas Bus Terguling di Ciater

Dinas Pendidikan Jabar Perketat Aturan "Study Tour" Imbas Bus Terguling di Ciater

Bandung
Video Viral Bocah SD di Cirebon Depresi Usai Ponsel Dijual Ibu

Video Viral Bocah SD di Cirebon Depresi Usai Ponsel Dijual Ibu

Bandung
Bus yang Alami Kecelakaan di Subang Sempat Setel Rem Saat di Tangkuban Parahu

Bus yang Alami Kecelakaan di Subang Sempat Setel Rem Saat di Tangkuban Parahu

Bandung
Pilkada Jabar 2024 Dipastikan Tidak Ada Calon dari Jalur Perseorangan

Pilkada Jabar 2024 Dipastikan Tidak Ada Calon dari Jalur Perseorangan

Bandung
Momen Warga Gelar Doa Bersama di TKP Kecelakaan Bus Subang

Momen Warga Gelar Doa Bersama di TKP Kecelakaan Bus Subang

Bandung
Imbas Bus Terguling di Ciater, Bey Keluarkan SE Kegiatan 'Study Tour'

Imbas Bus Terguling di Ciater, Bey Keluarkan SE Kegiatan "Study Tour"

Bandung
2 Mantan Bupati Serahkan Bukti Dukungan Calon Perseorangan Pilkada Garut 2024

2 Mantan Bupati Serahkan Bukti Dukungan Calon Perseorangan Pilkada Garut 2024

Bandung
Wisata Sejarah Pendopo Kota Bandung: Syarat, Cara Daftar, dan Jam Buka

Wisata Sejarah Pendopo Kota Bandung: Syarat, Cara Daftar, dan Jam Buka

Bandung
Kecelakaan di Subang, Kru Sempat Perbaiki Bus Beberapa Saat Sebelum Insiden Maut

Kecelakaan di Subang, Kru Sempat Perbaiki Bus Beberapa Saat Sebelum Insiden Maut

Bandung
Polisi Sebut Tidak Ada Jejak Rem dalam Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang

Polisi Sebut Tidak Ada Jejak Rem dalam Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang

Bandung
Detik-detik Kecelakaan Bus Siswa SMK Lingga Kencana di Subang, Penumpang Teriak 'Allahu Akbar'

Detik-detik Kecelakaan Bus Siswa SMK Lingga Kencana di Subang, Penumpang Teriak "Allahu Akbar"

Bandung
Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang, Muslim: Saya Tanya Tiga Kali, Aman atau Tidak?

Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang, Muslim: Saya Tanya Tiga Kali, Aman atau Tidak?

Bandung
Diduga Mabuk, Pria Asal Cileunyi Tewas Tenggelam di Sumur

Diduga Mabuk, Pria Asal Cileunyi Tewas Tenggelam di Sumur

Bandung
Prakiraan Cuaca Bandung Hari Ini Minggu 12 Mei 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Sedang

Prakiraan Cuaca Bandung Hari Ini Minggu 12 Mei 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Sedang

Bandung
Sederet Fakta Kecelakaan Maut Bus Rombongan SMK Lingga Kencana di Ciater, Subang

Sederet Fakta Kecelakaan Maut Bus Rombongan SMK Lingga Kencana di Ciater, Subang

Bandung
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com