CIREBON, KOMPAS.com - Raut wajah Yuinah (55) berseri. Tanaman padi seluas dua hektar miliknya mulai menguning. Hasil musim tanam tiga (MT3) tahun 2024 ini, diprediksi akan berbanding 180 derajat dengan tahun 2023 lalu.
Yuinah bersama 80 petani penggarap di Desa Leuwidingding, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, siap menyambut masa panen MT3 yang membahagiakan di akhir bulan depan.
"Insyaallah, akhir bulan depan bisa panen, melihat hasil padi saat ini, bagus-bagus, sudah kelihatan," kata Yuinah saat ditemui Kompas.com di saungnya di tengah sawah, pada Selasa (29/10/2024) siang.
Baca juga: Pompa Listrik yang Mengubah Hidup Petani Cabai di Ujung Selatan Indonesia
Ibu tiga anak ini bercerita MT3 tahun 2023, menjadi pengalaman pahit. Yuinah menghabiskan modal sekitar Rp20 juta untuk membeli BBM demi menghidupi diesel untuk mengaliri air di dua hektar lahan pertaniannya yang dilanda kekeringan.
Modal besar ini dia keluarkan selama empat bulan sejak awal menanam benih di bulan Agustus hingga panen di bulan November 2023.
Yuinah tentu akan merasa senang bila modal besar yang dia keluarkan sebanding dengan hasil panennya.
Baca juga: Periksa Penampungan Air, Pria di Magetan Tersengat Aliran Listrik Pompa Air
Namun kenyataannya, tidak. Yuinah bersama suaminya, Rukmana (55), hanya mendapatkan 30 karung gabah basah atau setara 1,5 ton dari luas area 2 hektar. Hasil ini membuatnya sakit dan kehilangan modal puluhan juta rupiah.
"1 hektar cuman dapat 30 karung, 1 hektarnya lagi 8 karung, uang mah sudah habis Rp20 juta buat beliin bensin aja dari mulai tanam sampai panen. Mulai pertama nanem sudah ga hujan sama sekali. Sehari bisa 400 ribu untuk BBM. Sedih lah. Resikonya jadi petani ya begini," keluh Yuinah.
Rusmana (55) petani Desa Leuwidingding Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon menunjukan derasnya pancuran air yang keluar dari pompa listrik untuk mengaliri sawahnya pada Selasa (29/10/2024) siang. Pompa berbasis listrik memiliki tenaga serap dan dorong yang kuat dibanding diesel pompa berbasis BBM..Rukmana, sebagai petani yang pernah menjadi demplot percontohan bibit dan pupuk organik baru di tahun 2012 silam, telah berusaha beragam cara untuk mengatasi kekeringan.
Dia berkoodinasi dan meminta solusi kepada pemerintah desa dan pihak lainnya, namun hasil nihil. Pasalnya, hal yang dialami sepasang suami istri ini juga dirasakan petani lainnya.
Kamaludin (54), Sekretaris Desa Leuwidingding, mencatat, hasil panen MT3 tahun 2023 menurun drastis.
Hasil panen hanya sekitar 30 ton gabah basah di atas lahan 31 hektar yang digarap.
Sedangkan pada MT1 dan MT2, total produksi panen permusim rata-rata mencapai sekitar 300 ton, dari total lahan pertanian desa 61 hektar.
Penurunan jumlah panen di tahun 2023 ini, kata pria yang akrab disapa Kamal, sesuai dengan keterangan BMKG terkait fenomena El Nino, yang menyebabkan sebagian besar wilayah Indonesia mengalami kekeringan berkepanjangan, termasuk desanya.
Yuinah (50) dan Rusmana (55) istirahat di saung tengah sawah miliknya di desa Leuwidingding Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon, Selasa (29/10/2024) siang. Keduanya merupakan salah satu dari 80 petani Desa Leuwidingding yang ikut program migrasi dari pompa BBM ke pompa listrik hasil kerja kolaborasi pemerintah September 2024 kemarin..Kamal menyebut, pengalaman kelam MT3 tahun 2023 kemarin tidak akan lagi terjadi.
Masalah utama kekeringan, minimnya pasokan air, sudah teratasi dengan program kolaborasi kemitraan multi stakeholder terkait inovasi irigasi berbasis pompa listrik.
Pemerintah memfasilitasi para petani beralih semula pompa berbasis BBM kini pompa berbasis listrik, yang langsung tersambung ke sumber mata air terdekat.
Kamal yang juga anggota kelompok tani Tunas Harapan membandingkan, efektivitas penggunaan pompa listrik.
Bila menggunakan pompa diesel berbasis BBM, petani menghabiskan biaya sekitar Rp150.000-200.000 perhari untuk mengaliri air di atas lahan satu hektar.
Sementara, bila menggunakan pompa listrik, petani hanya menghabiskan biaya sekitar Rp15.000-20.000 perhari dengan luas area teraliri air satu hektar.
Sehingga bila ditotal, petani yang menggunakan pompa BBM menghabiskan biaya pengairan sekitar Rp4,8 juta agar dapat mengaliri air di lahan satu hektar. Jumlah ini masih belum menghitung pengeluaran penjaga diesel selama beroperasi.
Gangguan air yang lambat dan penyedotan yang kurang kuat untuk mengaliri sawah yang luas, membuat biaya operasional petani semakin membengkak.
Sementara, petani yang menggunakan pompa listrik, hanya mengeluarkan biaya Rp480.000 per hektar.
Tenaga yang dikeluarkan pompa untuk menarik dan mendorong air pun sangat kuat, sehingga air dengan cepat menyebar ke seluruh luas area yang hendak dialiri air, hanya dalam beberapa jam.
Bantuan ini, kata Kamal, berhasil mengubah pola pikir 80 petani di Desa Leuwidingding.
Sejak dioperasionalkan pada Kamis (19/9/2024), petani mulai menanam padi pada MT3, dari yang semula hanya 40 persen petani, kini nyaris 100 persen.
Keengganan petani menanam padi di MT3 karena membutuhkan banyak modal, dan berujung pada kerugian, seperti yang dialami Yuinah dan Rukmana.
"Dari total 61 hektar, hanya 30 hektar yang ditanam pada masa MT.3. Ini terjadi karena para petani harus modal berkali lipat. Tetapi setelah launching pompa listrik, seluruh petani mendadak garap lahan karena pasokan air melimpah," kata Kamal, di saung milik Yuinah.
Tak hanya tanam MT3, Kamal bersama sejumlah petani memutuskan untuk menanam padi di sawah tadah hujan. Mereka memasang pompa listrik untuk mengaliri air agar sawah hidup kembali.
Aep Saefullah, Ketua Kelompok Tani Tunas Harapan, menyebut program pompa listrik menginspirasi sejumlah petani lain.
Pasca-diluncurkan, Aep berulang kali didatangi beberapa petani dari desa tetangga. Mereka meminta Aep membantu proses pemasangan pompa listrik di desa tetangga.
"Itu juga petani desa tetangga main ke rumah saya, nanya-nanya, terus dia minta bantu pasangin pompa listrik, mau nganggarin pakai dana desa sendiri. Jadi pompa listrik banyak yang niru sekarang, Mas," kata Aep, melalui sambungan telpon, Selasa (29/10/2024) siang.
Aep yang juga ketua petani milenial, menyebut sarana pertanian yang mudah membuat dirinya dan teman-teman petani milenial yang semula bekerja sebagai kuli bangunan di perantauan, memilih pulang dan menjadi petani di desanya.
Dia meyakini selain menghasilkan pendapatan lebih, menjadi petani tentu meningkatkan ketahanan pangan di desa.
Kamaludin (54) Sekretaris Desa Leuwidingding Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon Jawa Barat, menunjukan tiang kWh listrik untuk menghidup pompa listrik dari sumber mata air di sungai ke sawah. Pemerintah Desa Leuwidingding mendapatkan fasilitas bantuan jaringan, 20 pompa listrik dan lainnya, untuk areal sawah seluas 61 hektar program kolaborasi pemerintah.Yayat Rahmat Hidayat, Akademisi Pertanian dari Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ), menyebut langkah penggunaan teknologi listrik untuk pertanian telah dikembangkan di negara maju.
Indonesia sebagai negara agraria seyogyanya sudah harus menggunakan energi listrik secara massal.
Energi listrik jauh lebih efektif, efisien, hemat, dan tentunya ramah lingkungan bila basisnya adalah tenaga surya, atau pengolahan sampah.
"Dengan tenaga listrik bisa lebih baik, contohnya kendaraan, mesin produksi (dari BBM) konversi ke listrik, tidak menutup kemungkinan di sektor pertanian pun begitu, karena sangat potensial sekali. Di negara maju, sudah duluan, tinggal kita negara dengan simbol agraria, harus dong ke arah itu," kata Yayat saat dihubungi Kompas.com, Rabu (30/10/2024) siang.
Dosen prodi Agribisnis Fakultas Pertanian UGJ ini menyebut pada tingkat nasional, konversi ke tenaga listrik sudah banyak dilakukan pada tingkat manajemen.
Hal ini terlihat pada banyaknya aplikasi yang terus dikembangkan untuk mempermudah kemajuan pertanian di Indonesia.
Imam Ahmadi, manager PLN UP3 Cirebon, menyampaikan, migrasi pompa listrik di Desa Leuwidingding merupakan kerja kolaborasi multi stakeholder program "electrifying agriculture" atau agrikultur berbasis listrik.
Pihaknya kerja sama dengan Dinas Pertanian, Bank Indonesia, Bulog, Pupuk Indonesia dan lainnya.
Tim gabungan ini meyakini, intervensi bantuan pertanian terhadap 80 petani untuk lahan 61 hektar di Desa Leuwidingding adalah tepat sasaran.
Dalam hal ini, PLN UP3 menyediakan sarana aliran listrik masuk ke persawahan dengan memasang lebih dari 30 tiang listrik di seluruh luas area pertanian.
Sebagian area yang belum terjangkau karena terpotong rel kereta api, masih dalam pembahasan.
Bantuan ini, kata Imam, merupakan hasil perjuangan para petani selama bertahun-tahun agar tetap dapat produksi di MT1, MT2, dan MT3.
Terbukti, setelah launching, banyak petani menanam padi di MT3 ini, karena pasokan air melimpah, tidak seperti tahun lalu.
Imam memastikan program unggulan kolaborasi dapat bermanfaat. Dirinya berencana menjadikan desa Leuwidingding sebagai pilot projek untuk inovasi di daerah daerah lainya.
"Jadi harapannya, ini jadi konsep komprehensif dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan karena melibatkan banyak pihak, dan konsep ini juga diharapkan bisa menjadi pilot project secara nasional," harap Imam.
Dengan migrasi ke pompa listrik ini, senyuman yang berseri di wajah Yuinah, juga akan merekah di tiap wajah petani lainnya. Para petani akan melakukan lompatan untuk terus memproduksi dan meningkatkan ketahanan pangan negeri agraria ini.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang