Beruntung, Dara memiliki keluarga yang selalu mendukungnya dan senantiasa menguatkan mental agar tabah dan tegar menghadapi kenyataan.
"Mamah selalu menguatkan saya, mengatakan kalau di luar sana masih banyak orang yang mengalami hal yang lebih buruk, tetapi mereka tetap mampu bertahan,"
"Saya juga mendapat bimbingan dan konseling di paguyuban ini (P4AK). Ini yang semakin menguatkan saya untuk bisa melalui situasi ini," ucap Dara.
Perlahan namun pasti, Dara mulai bisa menerima kenyataan hidupnya. Meski demikian, kenangan akan peristiwa itu terkadang masih menghantui.
"Sekarang saya sering menyibukkan diri, dan kalau ingat lagi, saya datang ke sini untuk curhat dengan teman-teman yang sesama korban," ujar dia.
Sebentar lagi, Dara akan menyelesaikan sekolah. Di sela rutinitasnya sebagai pelajar, ia juga aktif berolahraga bahkan menjadi kapten tim di sebuah akademi futsal.
Dara mengaku, sengaja menjaga stamina dan melatih fisiknya, karena setelah lulus SMA nanti berencana mendaftar sebagai anggota TNI.
"Ingin jadi tentara, maunya jadi Wara (TNI AU)," ucapnya.
Baca juga: Pegiat Medsos di Purwokerto Dipolisikan atas Kekerasan Seksual Kejam
Pendampingan hukum dan konseling
Ketua Harian Perkumpulan Pengacara Peduli Perempuan, Anak, dan Keluarga (P4AK) Kabupaten Cianjur Lidya Indayani Umar menyatakan, kasus rudapaksa yang menimpa Dara telah mendapat sorotan publik.
Perkara ini sudah inkrah atau memiliki kekuatan hukum tetap dari Pengadilan Negeri Cianjur dan pelaku diganjar hukuman maksimal selama 14 tahun penjara.
Lidya menyampaikan, pendampingan hukum dan upaya pemulihan psikis korban membutuhkan waktu yang cukup lama, mengingat peristiwa tragis yang dialaminya.
Selain itu, pasca kejadian, lingkungan sekitar tidak memosisikan korban sebagai pihak yang membutuhkan dukungan moral untuk pulih. Justru sebaliknya, korban mendapat stigma.
“Situasi itulah yang paling berat bagi korban sehingga butuh waktu lama untuk pulih psikisnya,” ucap Lidya saat ditemui di kantornya, Sabtu petang.
Lidya mengungkapkan, dari kasus kekerasan terhadap anak yang didampinginya, baik dari aspek hukum dan pemulihan korban, perkara kekerasan seksual adalah yang paling sulit ditangani.
Pasalnya, menurut Lidya, minimnya dukungan dari lingkungan dan keluarga korban, serta pelaku yang sebagian besar merupakan orang dekat atau dikenal korban, semakin menambah beban psikologis bagi korban.
Baca juga: UPH Tindak Tegas Dosen Musik Terduga Pelaku Kekerasan Seksual
Selain itu, masih ada masyarakat yang menganggap kasus atau kejadian tersebut sebagai tabu dan aib, sehingga ketika itu terjadi di lingkungan mereka, hal itu harus ditutup rapat-rapat dan meminta korban untuk tidak mengungkapkannya ke publik.
“Cara berpikir seperti itu yang harus diubah, dan ini tentu menjadi tanggung jawab semua pihak untuk bersama-sama mengedukasi, terutama para pemangku kebijakan, agar semua pihak sadar dan memahami bahwa kekerasan seksual terhadap anak sebagai pelanggaran hak asasi manusia,” ujar Lidya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang