CIANJUR, KOMPAS.com – Setahun berlalu, tapi Dara (17), bukan nama sebenarnya, masih sulit melupakan peristiwa pahit yang dialaminya di pertengahan 2023.
Apa yang menimpa gadis asal Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, ini telah mengubah jalan hidupnya.
Dengan suara bergetar dan terbata-bata, Dara berani berbagi cerita tentang peristiwa tragis yang dialaminya, meski harus menahan pilu dan emosi.
Baca juga: Perjuangan Anak Korban Pelecehan Seksual di Cianjur Melawan Stigma
Tak pernah terlintas sedikit pun dalam benaknya bahwa ia akan menjadi korban penyekapan dan dirudapaksa oleh seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
“Saya berupaya melupakannya, tapi sulit. Tapi saya sekarang sudah kuat, dan saya mampu membuktikannya kepada semua orang,” ucap Dara saat ditemui di kantor P4AK Cianjur, Sabtu (2/11/2024).
Di usianya yang masih belia, Dara begitu tegar. Betapa tidak, meskipun telah menjadi korban kejahatan seksual, ia justru kurang mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitarnya.
Bahkan, Dara berulang kali menerima perundungan atas peristiwa yang menimpanya. Tak ayal, mentalnya terguncang dan merasa pada saat itu berada di titik terendah dalam hidupnya.
“Guru juga pernah ada yang bilang…” ucapnya, tetapi kalimat itu tertahan. Bibirnya bergetar, dan ia menunduk, menggenggam erat selembar tisu yang dipakai untuk menyeka matanya yang sembab.
Baca juga: Cerita Siti Fatimah Dampingi Korban Kekerasan Seksual, Terpapar Trauma dan Ancaman
Dalam situasi itu, teman-temannya justru menjauh, bahkan ada yang memintanya supaya pindah sekolah.
"Saya memilih bertahan karena ingin membuktikan kalau saya mampu menghadapi semua ini," ujar dia.
Beruntung, Dara memiliki keluarga yang selalu mendukungnya dan senantiasa menguatkan mental agar tabah dan tegar menghadapi kenyataan.
"Mamah selalu menguatkan saya, mengatakan kalau di luar sana masih banyak orang yang mengalami hal yang lebih buruk, tetapi mereka tetap mampu bertahan,"
"Saya juga mendapat bimbingan dan konseling di paguyuban ini (P4AK). Ini yang semakin menguatkan saya untuk bisa melalui situasi ini," ucap Dara.
Perlahan namun pasti, Dara mulai bisa menerima kenyataan hidupnya. Meski demikian, kenangan akan peristiwa itu terkadang masih menghantui.
"Sekarang saya sering menyibukkan diri, dan kalau ingat lagi, saya datang ke sini untuk curhat dengan teman-teman yang sesama korban," ujar dia.
Sebentar lagi, Dara akan menyelesaikan sekolah. Di sela rutinitasnya sebagai pelajar, ia juga aktif berolahraga bahkan menjadi kapten tim di sebuah akademi futsal.
Dara mengaku, sengaja menjaga stamina dan melatih fisiknya, karena setelah lulus SMA nanti berencana mendaftar sebagai anggota TNI.
"Ingin jadi tentara, maunya jadi Wara (TNI AU)," ucapnya.
Baca juga: Pegiat Medsos di Purwokerto Dipolisikan atas Kekerasan Seksual Kejam
Pendampingan hukum dan konseling
Ketua Harian Perkumpulan Pengacara Peduli Perempuan, Anak, dan Keluarga (P4AK) Kabupaten Cianjur Lidya Indayani Umar menyatakan, kasus rudapaksa yang menimpa Dara telah mendapat sorotan publik.
Perkara ini sudah inkrah atau memiliki kekuatan hukum tetap dari Pengadilan Negeri Cianjur dan pelaku diganjar hukuman maksimal selama 14 tahun penjara.
Lidya menyampaikan, pendampingan hukum dan upaya pemulihan psikis korban membutuhkan waktu yang cukup lama, mengingat peristiwa tragis yang dialaminya.
Selain itu, pasca kejadian, lingkungan sekitar tidak memosisikan korban sebagai pihak yang membutuhkan dukungan moral untuk pulih. Justru sebaliknya, korban mendapat stigma.
“Situasi itulah yang paling berat bagi korban sehingga butuh waktu lama untuk pulih psikisnya,” ucap Lidya saat ditemui di kantornya, Sabtu petang.
Lidya mengungkapkan, dari kasus kekerasan terhadap anak yang didampinginya, baik dari aspek hukum dan pemulihan korban, perkara kekerasan seksual adalah yang paling sulit ditangani.
Pasalnya, menurut Lidya, minimnya dukungan dari lingkungan dan keluarga korban, serta pelaku yang sebagian besar merupakan orang dekat atau dikenal korban, semakin menambah beban psikologis bagi korban.
Baca juga: UPH Tindak Tegas Dosen Musik Terduga Pelaku Kekerasan Seksual
Selain itu, masih ada masyarakat yang menganggap kasus atau kejadian tersebut sebagai tabu dan aib, sehingga ketika itu terjadi di lingkungan mereka, hal itu harus ditutup rapat-rapat dan meminta korban untuk tidak mengungkapkannya ke publik.
“Cara berpikir seperti itu yang harus diubah, dan ini tentu menjadi tanggung jawab semua pihak untuk bersama-sama mengedukasi, terutama para pemangku kebijakan, agar semua pihak sadar dan memahami bahwa kekerasan seksual terhadap anak sebagai pelanggaran hak asasi manusia,” ujar Lidya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang