Dalam beberapa komunitas lokal, pendidikan tinggi mungkin tidak dianggap sebagai kebutuhan utama karena sistem sosial telah mengembangkan mekanisme lain untuk mempertahankan keseimbangan, seperti sektor pertanian, perdagangan, atau industri kreatif berbasis kearifan lokal.
Sementara dari teori Konflik (Karl Marx, Pierre Bourdieu), pendekatan ini menyoroti adanya ketimpangan struktural dalam akses pendidikan tinggi, terutama akibat faktor ekonomi dan modal sosial.
Adapun Bourdieu (1986) menjelaskan bahwa pendidikan tinggi sering kali didominasi oleh kelompok dengan modal ekonomi, sosial, dan budaya yang lebih tinggi.
Jika akses terhadap modal-modal ini terbatas dalam masyarakat Sunda, maka peluang untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat sarjana pun menjadi rendah.
Kapital budaya dalam bentuk habitus keluarga yang kurang menekankan pentingnya gelar akademik juga dapat berkontribusi pada rendahnya minat pendidikan tinggi.
Dari perspektif makro, kata Fadhiel, kebijakan pendidikan di Indonesia masih menghadapi kendala dalam pemerataan akses dan kualitas.
Menurut penelitian dalam sosiologi pendidikan (Apple, 2004), sistem pendidikan sering kali lebih mengakomodasi kelompok sosial-ekonomi tertentu, sementara masyarakat di luar pusat ekonomi utama cenderung mengalami keterbatasan dalam aksesibilitas, baik dalam bentuk biaya, infrastruktur, maupun ekspektasi sosial.
Pemerintah dan stakeholder lainnya berperan penting dalam mendukung masyarakat berpendidikan tinggi.
Pasalnya, pendidikan tinggi yang dibuat di Bandung dan Jawa Barat ini tak hanya untuk menyerap calon berpendidikan tinggi secara nasional atau Internasional saja, tapi juga mendukung calon pendidikan tinggi lokal daerahnya.
"Dari sisi kebijakan daerah tidak ada yang mendukung (orang lokal), misalnya kabupaten atau dinas-dinas, bupatinya, gak ada yang mendukung supaya pendidikan tinggi setinggi tingginya," ujarnya.
Fadhil juga berpandangan bahwa pemerintah daerah tak ada yang memfasilitasi akses orang-orang lokal untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi S1, S2, S3 dan lainnya.
"Jadi apa yang penting dari sosiologi nya perlunya kebijakan dari pemda dari tingkat rendah kabupaten provinsi supaya misal beasiswa anak asli Sunda atau daerah tertentu, misal setahun 20-50 untuk masuk sarjana, pascasarjana, sekarang gak kedengar kebijakan pada level itu," ucapnya.
Fadhil mendorong para pemangku kepentingan untuk merumuskan kebijakan daerah yang mempermudah akses pendidikan tinggi bagi warga lokal, misalnya dengan menyediakan 100 beasiswa di salah satu perguruan tinggi di Jawa Barat khusus bagi calon mahasiswa dari daerah setempat.
"Saya mendorong semua pihak stakeholder, multistakeholder baik dari pemda, lembaga masyarakat atau pusat dana untuk pendidikan tinggi di Jabar. Jangan hanya dibuka, tapi gak ada kebijakan daerah, apalagi dikerjasamakan misal untuk UPI atau Unpad misal. Ya, semua level nasional, internasional tapi yang lokal ditinggalkan," kata dia.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang