Editor
Terkait Gunung Kuda, Iwang menuturkan bahwa secara tata ruang, kawasan tersebut memang ditetapkan sebagai zona sirtu (pasir dan batu).
Namun dalam kenyataannya, bukit tersebut juga memiliki fungsi ekologis penting sebagai kawasan resapan air dan penyedia cadangan air bagi masyarakat sekitar.
“Jika terus dieksploitasi, fungsi ekologisnya akan rusak. Kami sudah lama merekomendasikan agar tambang di sana dihentikan dan dilakukan reforestasi,” kata Iwang.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa tanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan korban jiwa tidak bisa hanya ditimpakan kepada perusahaan.
Pemerintah pun harus ikut bertanggung jawab karena telah mengeluarkan izin serta rekomendasi atas kegiatan tersebut.
“Pemerintah harus bertanggung jawab terhadap pemulihan sosial dan moral keluarga korban. Jangan lepas tangan,” tegasnya.
Iwang juga menyoroti bahwa lemahnya penegakan hukum menjadi masalah utama dalam dunia pertambangan di Indonesia, termasuk di Jawa Barat.
"Regulasi kita sebenarnya sudah sangat baik, termasuk tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL), ketaatan laporan, hingga sanksi bagi pelanggar," kata dia.
"Tapi selama ini regulasi hanya di atas kertas. Tidak ada penegakan hukum terhadap pelanggar, baik dari pihak perusahaan maupun institusi pemerintah yang lalai,” ujarnya.
Iwang menambahkan pentingnya reformasi menyeluruh dalam tata kelola pertambangan di Jawa Barat.
Ia mendorong evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin yang sudah terbit, peningkatan kapasitas pengawasan pemerintah, dan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan lingkungan hidup.
Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Tragedi Tambang Gunung Kuda Cirebon, Walhi Jabar Soroti Lemahnya Pengawasan dan Ketaatan Regulasi.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang