Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sunda Wiwitan: Kami Menolak, Kami Akan Halangi Eksekusi

Kompas.com - 20/05/2022, 12:12 WIB
Rachmawati

Editor

 

Mengapa masyarakat Sunda Wiwitan menolak eksekusi?

Rencana eksekusi berdasarkan perintah PN Kuningan atas lahan di Desa Cigugur itu diungkap pertama kali oleh masyarakat Karuhun Sunda Wiwitan di media sosial.

Disebutkan, pada 22 April 2022, PN Kuningan mengeluarkan surat perintah pelaksanaan pencocokan (constatering) dan sita eksekusi, yang akan dilakukan pada Rabu (18/5/2022).

BBC News Indonesia, Selasa (17/5/2022), telah menghubungi PN Kuningan untuk mengkonfirmasi waktu dan alasan putusan eksekusi.

Melalui sambungan telepon, Kepala Humas PN Kuningan, Hans Prayugotama, mengaku belum menerima informasi dari panitera atau juru sita.

Atas rencana eksekusi ini, masyarakat Karuhun Sunda Wiwitan menyatakan menolak secara tegas dan tidak memberikan ruang dalam eksekusi.

Baca juga: Perjuangan AKUR Sunda Wiwitan Cigugur demi Status Masyarakat Hukum Adat

"Menolak dengan tegas karena PN Kuningan melakukan framing hanya dengan membahas lewat cara pandang hukum waris perorangan atau pribadi," kata Okky Satrio Djati, petugas adat (girang pangaping) masyarakat Adat Karuhun Sunda Wiwitan, kepada BBC News Indonesia, Selasa (17/5/2022).

Ia mengatakan lahan itu adalah tanah adat Mayasih milik komunal yang dijaga dan dikelola secara bersama dan bukan milik pribadi.

"Nah, cara pandang ini yang kami mengatakan framing mereka dalam melihat masalah ini, salah," tambahnya.

Okky menganggap majelis hakim keliru memahami objectum litis-nya.

Baca juga: Sejarah Tumpeng dalam 2 Versi, dari Kepercayaan Kapitayan dan Sunda Wiwitan

"Karena memahami objectum litis-nya sebagai sengketa waris, padahal jelas bahwa objectum litis-nya bukanlah sengketa waris, melainkan sengketa atas Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang terjadi pada masyarakat hukum adat," jelasnya.

Okky menegaskan pihaknya memiliki bukti-bukti bahwa lahan itu merupakan tanah adat milik komunitas Karuhun Sunda Wiwitan.

"Kami punya persil dan itu milik pupuhu kami yang pertama. Lantas ada surat penetapan dari pupuhu kedua," kata dia.

"Generasi tahun 1964 dan 1976, [lahan] itu diberikan kepada sekitar 12 tokoh masyarakat. Dari tokoh masyarakat itu, mereka membentuk yayasan pendidikan," ungkapnya.

Yayasan inilah yang berhak mengelola bersama masyarakat.

"Jadi tidak boleh diperjualbelikan, tapi digunakan untuk kepentingan bersama," ujar Okky.

Baca juga: Jeritan Masyarakat Sunda Wiwitan: Ini Kesewenang-wenangan!

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com