Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ganasnya Pertambangan Karst dan Hilangnya Mata Air Pegunungan Sanghyang

Kompas.com - 22/08/2022, 18:50 WIB
Bagus Puji Panuntun,
Reni Susanti

Tim Redaksi

BANDUNG BARAT, KOMPAS.com - Kekeringan lahan akibat aktivitas pertambangan di pegunungan karst Citatah mulai dirasakan warga di dua desa Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat.

Kekeringan itu terasa sejak satu tahun terakhir dengan ditandai hilangnya beberapa sumber air yang biasa digunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari serta kebutuhan sektor pertanian.

Di sepanjang pegunungan karst Citatah yang membentang dari timur ke barat terdapat perbukitan Gunung Sanghyang yang di dalamnya meliputi Leuweng Hideung, Gunung Guha, Gunung Balukbuk, serta Pasir Batununggal.

Baca juga: Belum Merdeka dari Pertambangan, Bendera Merah Putih Raksasa Dikibarkan di Tebing Karst Bandung Barat

Jeje (50) warga Kampung Sirnagalih, Desa Ciptaharja mengungkapkan, kekeringan itu mencapai puncak pada kemarau tahun ini.

Hal itu semakin terasa ditandai dengan hilangnya sejumlah mata air dan menurunnya debit sungai.

Jauh sebelum masifnya pertambangan,  mata air dan sungai yang berhulu di Gunung Sanghyang ini sering dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum serta pemgairan lahan pertanian oleh ratusan warga di Desa Cipatat dan Desa Ciptaharja, Kecamatan Cipatat.

"Memang setiap tahun debit air sungai dan mata air terus merosot. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana (kondisi) 10 tahun ke depan, kalau tambang terus masif di puncak gunung," ungkap Jeje saat ditemui beberapa hari lalu.

Baca juga: Tuntutan Dipenuhi, Honorer Disdukcapil Bandung Barat Berhenti Mogok Kerja

Sedikitnya terdapat 5 mata air besar yang berada di kawasan Gunung Sanghyang dan Leuweung Hideung.

5 mata air besar itu meliputi mata air Cipaneguh, mata air Pasir Sepat, mata air Cisaladah, mata air Ciketung, dan mata air Cijawer.

5 mata air besar itu dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan minum dan pertanian di kampung Pojok, kampung Cijuhung, kampung Sirnagalih, kampung Cibarengkok, kampung Lapingsari, dan kampung Gunung Batu Desa Ciptaharja.

Aktivitas pertambangan di pegunungan Sanghyang, Bandung Barat.KOMPAS.COM/Bagus Puji Panuntun Aktivitas pertambangan di pegunungan Sanghyang, Bandung Barat.

Sebagian lain, warga Desa Cipatat juga memanfaatkan air yang bersumber dari Gunung Sanghyang.

"Lihat saja sungai-sungai dari mata air ini sekarang kecil sekali. Sawah yang semula normal panen, kini menjadi pola pertanian tadah hujan," jelas Jeje.

Sepanjang perbukitan itu, setidaknya terdapat aktivitas pertambangan yang dilakukan beberapa perusahaan tambang berskala besar. 

"Aktivitas tambang serupa bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Maksud saya, batuan karst kan batuan yang bisa menyimpan banyak air, jadi akan ditemukan banyak sumber mata air di bawah karst. Nah kalau ada tambang mata air ini akan terganggu," kata tokoh Pemuda Kampung Sirnagalih, Ibnu Faruqi (25).

Baca juga: Honorer Disdukcapil Bandung Barat Mogok, Pelayanan Lumpuh Total

Ibnu menyampaikan, berdasar data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sepanjang pegunungan Sanghyang itu masuk dalam status Kawasan Bentangan Alam Karst (KBAK).

Mirisnya, aktivitas pertambangan ini berjalan masif tanpa hambatan di titik daerah lindung KBAK. Tentu kondisi itu akan sangat berpengaruh terhadap zona lindung karena satu hamparan perbukitan.

Mestinya, lanjut Ibnu, baik para pelaku usaha maupun pemerintah bisa mengambil jalan tengah dengan konsep pemanfaatan ekonomi di dekat zona lindung dengan mengedepankan prinsip ekonomi berkelanjutan bukan eksploitatif seperti tambang.

"Kita ingin pemerintah punya solusi yang pasti, jangan sampai mementingkan segelintir orang dengan resiko yang panjang. Pemerintah daerah dan provinsi mempunyai andil dalam menjaga kawasan karst. Jadi justru yang didorong ekonomi bagi warga sekitar yang berkelanjutan, bukan merusak lingkungan seperti tambang," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com