BANDUNG, KOMPAS.com- 30 tahun lebih bukan waktu yang sebentar bagi Aki (33) bertahan di tengah kepungan banjir Bandung Selatan.
Ia berserta keluarga dan warga lainnya tumbuh bersama banjir kiriman dan luapan sungai Citarum yang kerap mengamuk, kala musim penghujan tiba.
Selama itu pula, ia dan Kampung Bojongasih, Desa Dayeuhkolot, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dipaksa untuk beradaptasi dengan situasi yang tak kunjung membaik.
Baca juga: Warga Tak Tutup Pembuangan Air Kamar Mandi Jadi Kendala Penanganan Banjir di Bandung Selatan
Kepada Kompas.com, Aki berbagi ceritanya bagaimana ia menjalani hari-hari ketika musim hujan datang dan banjir perlahan datang seperti tamu tak diundang.
"Saya asli orang sini, dari waktu kecil sampai sekarang sudah menikah, sudah hidup dengan banjir," katanya ditemui, Jumat (14/10/2022).
Jika di tempat lain, alarm peringatan menjadi pengingat warga untuk siaga. Di Kampung Bojongasih, kata Aki, tak memerlukan hal itu.
Bertahun akrab dengan banjir, membuat ia dan warga sudah tahu tanda-tanda saat banjir akan datang.
Biasanya, Aki dan warga mencari tahu hujan yang turun melanda wilayah mana, setelah diketahui, ia bisa memastikan apakah banjir yang akan datang merupakan kiriman atau luapan sungai Citarum.
"Sudah lama, sudah pengalaman, jadi enggak perlu kaya gituan, saya sejak kecil sudah tidak panik," jelasnya.
Baca juga: BBWS: Penanggulangan Banjir Bandung Selatan, Bekasi, dan Purwakarta Belum 100 Persen
Aki menjelaskan, antara banjir kiriman dan banjir luapan sungai Citarum itu bisa dibedakan.
Air yang datang akibat hujan yang melanda Kota Bandung, atau banjir kiriman, lanjut dia, warna airnya cenderung lebih coklat pekat.
Sedangkan, air luapan dari sungai Citarum itu lebih berwarna kuning.
"Karena sudah tahu dan paham, mau gimana lagi ciri-ciri kita sudah biasa," terang dia.
Bertahun-tahun berteman dengan banjir, membuat Aki dan yang lainnya mulai beradaptasi.
Kegiatan sehari-hari harus bisa diatasi di tengah banjir yang belum tertangani. Suka atau tidak, lanjut dia, semua kalangan di Kampungnya mulai mengubah kebiasaan.
Kebiasaan yang paling mencolok, yakni hampir semua warga tak bisa lepas dari perahu.
Aki mengatakan, sejak lahir pada 1983, banjir sudah hadir di tengah kehidupannya. Sejak saat itu pula, warga Kampung Bojongasih tidak pernah lepas dari perahu.
"Jadi kami di sini, punya atau harus memiliki transfortasi perahu, persiapan ketika hujan datang," bebernya.
Baca juga: Masyarakat Minta Pemda Serius Tangani Alih Fungsi Lahan di Kawasan Bandung Selatan
Bagi Aki dan warga lainnya, perahu merupakan penyelamat. Tidak aneh jika warga sekitar memperlakukan perahunya seperti alat transportasi pada umumnya.
"Dirawat kaya kita punya motor atau mobil," terangnya.
Jauh sebelum di bangunnya folder air, kolam retensi dan lainnya. Banjir Bandung Selatan seperti sesuatu yang akut. Pasalnya, untuk surut, warga harus menunggu berminggu-minggu.
Saat itu pula, perahu menjadi moda transfortasi yang paling diandalkan. Aki mengatakan, rutinitas anak sekolah, pekerja, hingga aktivitas sehari-hari menggunakan perahu.
Aki menyebut, para pemuda kala itu sudah bersedia sejak subuh untuk membantu warga yang akan memulai aktivitasnya.
Tak sedikit, warga yang merasa terbantu memberikan sedikit rezekinya untuk para "driver" perahu tersebut.
"Begitu adanya, perahu menjadi alat bantu buat kita, sekolah, kerja, ke warung beli gas atau apa, bahkan ngangkut sepeda motor juga, benar-benar membantu istilahnya," ungkapnya.
Baca juga: Banjir Menerjang Bandung Selatan, 3 Kecamatan Terendam Luapan Sungai Citarum
Peran alat transfortasi perahu di banjir Bandung selatan, kata Aki, menjadi sangat krusial ketika banjir pada 2005 dan 2015.
Kala itu, banjir hampir setinggi atap rumah. Banjir di tahun itu, lanjut dia, tidak hanya membawa genangan air, namun juga material lumpur luapan sungai citarum yang ikut terbawa.
"Dulu kan banjir di sini tuh, istilah banjir per-lima tahun sekali, dan itu pasti tinggi. Tahun 2005 saya masih ingat ada lumpurnya, tinggi lumpurnya se dada orang dewasa, surutnya sampai tiga minggu. Kemudian tahun 2015 itu sampai atap genting, waktu itu gak ada cara lain semua aktivitas, evakuasi juga pakai perahu," jelas dia.
Dulu, ketika banjir dengan volume air yang besar, Aki dan keluarga kerap mengungsi.
Pasalnya, akses untuk ke rumahnya sulit di tembus, entah karena jumlah perahu yang terbatas atau adanya material lumpur yang menghambat.
"Waktu itu saya sempat ngungsi, karena akses dan rumah saya gak ada tingkatnya, yang mengungsi di tempat pengungsian itu yang gak punya atap atau lantai dua, jadi istilahnya orangnya itu-itu saja," imbuhnya.
Tiap kali hujan turun apalagi saat malam hari,warga di Kampung Bojongasih, kata Aki, sudah dipastikan siaga. Satu persatu warga mulai berkeliling dan memberikan kabar pada yang lain.
Warga, lanjutnya, mulai memindahkan alat transportasi mereka ke tempat yang lebih tinggi.
"Pas lagi hujan tengah malem mungkin warga di tempat lain sedang tidur bahkan lagi pulas banget, di sini mah kita kerja bakti, saling mengingatkan bahwa hujan sudah mulai turun," jelas dia.
Baca juga: Banjir di Bandung Selatan, Jalan Andir-Katapang Tak Dapat Dilalui Kendaraan
Tidak sedikit, warga yang bekerja atau bersekolah esoknya tidur di fasilitas umum seperti masjid yang tersedia di lokasi yang lebih tinggi.
Saat masih bekerja di lokasi yang jauh, Aki mengalami dan melakukan hal itu, ketika hujan dengan intensitas tinggi datang, ia harus mengungsi tidur di lokasi yang lebih tinggi.
"Dulu juga ngalamin, tapi sekarang udah enggak, saya kerja deket dan sudah menemukan cara bagaimana bertahan dan mensiasatinya," ungkap dia.
Aki mengatakan, ketika hujan turun, warga yang berada di dataran tinggi tak pernah keberatan jika halaman depan rumahnya dijadikan parkir sementara oleh warga yang rumahnya terdampak.
"Sudah biasa, asal jangan menghalangi pintu atau pagar keluar saja, jadi sudah sama sama merasakan," bebernya.
"Nah, kemudian motor-motor atau mobil juga di jagain sama yang ngeronda, jadi semacam saling membutuhkan saja," bebernya.
Baca juga: Libur Lebaran, Kunjungan Obyek Wisata Bandung Selatan Meningkat, Banyak Pengunjung Abai Prokes
Saat ini, di Desa Bojong, kata Aki, sudah tidak ada pendatang. Hampir semua warga asli yang mempertahankan rumah dan tanah kelahirannya.
"Jadi yang pribumi mah sudah bisa bertahan dan tahu kapan banjir, biasanya yang pendatang yang repot," terang Aki.
Aki merasa bersyukur, banjir yang sudah mendarah daging dengannya kini mulai di perhatikan pemerintah.
Pembangunan folder air, kolam retensi, hingga alat bantu lainnya yang mempercepat surutnya air bisa membuat ia dan warga lainnya sedikit lega.
"Meskipun sekarang masih banjir tapi sudah tidak seperti dulu, banjir sekarang cenderung cepat surut," kata dia.
Aki tetap berharap banjir di wilayah bisa teratasi tanpa terkecuali, dan saat itu terwujud ia juga harus bersiap beradaptasi dengan situasi yang baru.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.