Henhen memiliki lahan garapan di Perkebunan Teh Margawindu ini sejak 1997.
Sebelumnya, lahan garapan dikelola sang ayah, yang kemudian diteruskan olehnya.
Ido Miskanda (39), yang juga menjadi penerus lahan garapan di Perkebunan Teh Margawindu sejak 2000-an, juga masih jauh dari kata sejahtera.
Baca juga: Melihat Perjuangan Buruh Lepas di Perkebunan Lereng Gunung Raung Banyuwangi
Seperti halnya penggarap lahan lainnya, Ido harus menghabiskan waktu dari Senin-Kamis untuk panen teh dan menjual hasilnya ke pengepul.
"Karena sejak perusahaannya bangkrut, di sini sudah tidak ada lagi pabrik teh. Jadi sekarang ini, dari hasil panen langsung kita jual ke pengepul," ujar Ido yang tergabung dalam Kelompok Tani Margawindu.
Selain Ido, penggarap lahan lainnya yang tergabung dalam kelompok yang sama, Asep Suprianto (58), menyebutkan, lahan Perkebunan Teh Margawindu memiliki luas total 578 hektar.
Namun, dari total tersebut, yang saat digarap oleh petani hanya 200 hektar terdiri dari 20 blok.
"Digarapnya oleh 200-an petani sini, ada yang awalnya kerja di PT Cakra (Perusahaan yang mengelola Perkebunan Teh Margawindu), ada juga warga sekitar di Desa Citengah ini," ujar Asep.
Baca juga: Kisah Anak-anak Buruh Rumput Laut di Nunukan, Tak Pernah Sekolah karena Harus Cari Nafkah
Asep mengatakan, Perkebunan Teh Margawindu dengan luas lahan 578 hektar ini berlokasi di satu desa, yaitu Desa Citengah.
"Awalnya lahan ini dibuka dan digarap oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, lahan Perkebunan Teh Margawindu menjadi tanah negara," tutur Asep.
Kemudian, kata Asep, sejak 1980-an, Pemerintah Indonesia menyerahkan Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT Cakra, untuk mengelola salah satu lokasi perkebunan teh terbesar di Kabupaten Sumedang.
Sejak digarap PT Cakra, perkebunan teh ini terus berkembang dan mempekerjakan ratusan buruh atau petani teh yang berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat mulai dari Kabupaten Cianjur; Ciwidey dan Pangalengan, Kabupaten Bandung; hingga Purwakarta.
"Akan tetapi, pada tahun 1997, PT Cakra mengalami pailit hingga Pemerintah Indonesia menyerahkan lahan garapan ini kepada para petani yang kemudian menetap di sekitar areal perkebunan ini dan mulai menggarapnya," sebut Asep.