Akun menuturkan, keahlian sablon didapatkannya ketika sedang berada di tahanan.
Meski fasilitas belajar sablon merupakan bagian dari perhatian negara kepadanya.
Namun, setelah keluar dari tahanan bahkan hingga hari ini tawaran pekerjaan dari pemerintah tak kunjung datang.
"Enggak pernah ada, ya udah keluar ya keluar aja. Kalau kerja dapet dikasih dari teman waktu di dalam iya, kalau dari pemerintah belum ada, kemarin aja bantuan buat Ibu saya yang jelas bukan yang menjalani hukum enggak di cariin, apalagi ke saya enggak ada perhatiannya," ujar dia.
Diskriminasi tak hanya datang dari orang luar. Keluarga terdekat pun kerap melakukannya. Hal itu seolah melegitimasi bahwa Akun seperti tak diperbolehkan lagi hidup layak, paling tidak diterima di kalangan masyarakat.
"Kalau saudara ya ada saja, kayanya kalau ketemu terus membicarakan yang sudah-sudah, kadang itu bikin saya down juga. Padahal, setahun ini saya enggak ngapa-ngapain, sudah fokus nyari duit buat keluarga," tambahnya.
Baca juga: Dilema Jerat Hukum Pemerkosa Remaja di Hutan Kota, Tersandung Status Anak Berhadapan Hukum (ABH)
Akun menyebut, pemerintah seharusnya memberikan bimbingan konseling lanjutan pada ABH.
Pasalnya, ia merasakan sendiri bagaimana hidup berdampingan dengan stigma dan harus berdamai dengan perilaku diskriminatif, dalam jangka waktu yang lama.
Bebas dari tahanan, kata dia, pilihan hidupnya hanya dua, kembali ke masa lalu atau hidup berdampingan dengan stigma dan diskriminasi.
Meski berat ia memilih pilihan kedua, pasalnya pihak-pihak terkait tak memberikan pilihan lain.
Sekalipun, lanjut dia, kawan-kawan dari kelompoknya memintanya untuk kembali bergabung dan memberi peluang kembali, ia tetap merelakan dirinya berteman dengan kondisi lingkungan yang diskriminatif.
"Lain pilihan nu gampang (bukan pilihan yang gampang) tapi saya lebih milik gini saja, dari pada balik lagi ke yang dulu tapi berisiko masuk tahanan lagi," ujar dia.
Baca juga: Kisah Difabel 2 Anak Melawan Stigma, Jadi Tulang Punggung Tanpa Tangan dan Kaki
Bukan hanya stigma dan diskriminasi yang harus ia telan pelan-pelan. Upayanya untuk mewujudkan cita-cita sebagai seorang desain grafis profesional perlahan luntur.
"Kalau keahlian ya sebetulnya saya punya kemampuan menggambar tangan baik lah. Dulu mah cita-cita pengen jadi pelukis, kalau sekarang mungkin desainer, tapi gimana kondisi kaya gini susah juga," kata dia.
Meski mengaku masih memelihara harapan tersebut, ia mengatakan tak ingin gegabah, apa yang ada hari ini , kata dia, dijalani untuk bisa bertahan hidup sehari-hari.
"Kalau ditanya masih pengen ya masih lah, salah satu kenapa saya mau jadi tukang sablon sekarang sekalipun jarak dan bayaran enggak gede, saya berharap masih ada gitu peluang," beber dia.
Namun untuk saat ini, kata dia, menutupi kebutuhan sehari-hari sambil kembali merakit mimpinya seperti sediakala lebih penting.
Pasalnya, ia sadar tak ada bantuan apapun dari orang lain atau pemerintah bagi masyarakat sepertinya yang pernah tersandung atau berurusan dengan hukum.
"Bukan menafikan, tapi memang enggak ada bantuan apa-apa, kemudahan pekerjaan, atau apa lah, enggak ada, saya murni cari sendiri," imbuhnya.