BANDUNG, KOMPAS.com - Enjang Dimyati (48) atau akrab disapa Bah Enjoem merupakan seniman yang selama dua dekade masih konsisten melestarikan kesenian tradisional Reak Khas Sunda.
Pria yang lahir di Bandung, Jawa Barat, 8 Agustus 1975 silam itu gemar menonton kesenian Reak sedari kecil. Ia mulai belajar kesenian Reak sejak 2000.
"Tidak sengaja, awalnya tidak mau (menggeluti). Cuman waktu kecil suka lihat (nonton) seni Reak," ujar Bah Enjoem saat ditemui, Kamis (21/9/2023).
Baca juga: Mati Suri Saat Pandemi, Sanggar Berusia 30 Tahun di Jambi Coba Bangkit dari Keterpurukan
Perlu diketahui, kesenian Reak berkembang pesat di wilayah Bandung Timur. Kesenian ini menggabungkan unsur musik dan atraksi kuda lumping dan bangbarongan atau barongan.
Dalam kesenian ini, para pemain kuda lumping dan bangbarongan berjalan beriringan dengan rute yang tak terlalu jauh dari rumah si empunya hajat (resepsi atau selamatan).
Para pemainnya kesurupan saat alunan musik yang berasal dari dog-dog, terompet, angklung dan alat musik tradisional lainnya dimainkan.
Bah Enjoem mengatakan, belajar kesenian ini dari akarnya dengan meneliti naskah-naskah kuno yang memuat asal-usul Reak di Tatar Sunda.
Baca juga: Tiap Daerah di Indonesia Bakal Tampilkan Sanggar Seni di IKN Tiap Pekan
Selain itu, ia juga belajar ke para tokoh seni Reak yakni Aki Rahma dan Abah Juarta.
"Abah buka naskah, (Reak) ada sejak abad ke-17. Asalnya Reak dari Pantura dengan adanya seni berokan, kalau disini bangbarongan," kata bapak anak empat ini.
"Di Pantura dipakai sebagai tolak bala pada pesta laut. Lalu dibawalah oleh para pedagang ke wilayah Bandung Timur. Tahun 1960 muncul dua tokoh yakni Aki Rahma dan Abah Juarta yang keduanya mempunyai perbedaan ciri khasnya masing-masing," tambah Bah Enjoem.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.