Hingga akhirnya pada 2002, Bah Enjoem memutuskan membentuk grup Reak beranggotakan sekitar 30 remaja dari lingkungan sekitar rumahnya.
Bersama grupnya, ia mulai mementaskan Reak di lingkungan rumahnya di Kampung Jati, Kelurahan Pasir Biru, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung.
"Grup Abah awalnya gratis dulu sampai tujuh kali tampil. Terus mulai ada yang nanggap (mengundang) dibayar Rp600 ribu. Lalu tahun 2006, Abah bangun Sanggar Reak Tibelat di depan rumah," ucapnya.
Baca juga: Seniman Pangandaran Berjuang Kenalkan Gondang Buhun di Tengah Kemajuan Zaman
Bah Enjoem mengaku, alasan menggeluti kesenian Reak karena prihatian atas stigma negatif dari masyarakat yang mencap seni ini pada periode akhir tahun 1990-an hanya menampilkan kekerasan dan ajang mabuk-mabukan dalam setiap pentasnya.
"Seni Reak dicap seni arogan, seni tukang gelut (berkelahi), seni tukang mabok. Pokoknamah negatif ke seni Reak. Padahal bukan seniman Reaknya, tapi penontonnnya. Ini karena pengaruh dari budaya-budaya asing," ucapnya.
Dengan niatan ingin membersihkan citra kesenian Reak dari pandangan negatif masyarakat, Bah Enjoem mulai menggagas program berkelanjutan dari tahun 2012 dengan slogan Reak Layak Tampil, Layak Tonton, dan Layak Jual dan tahun 2014 Reak Harus Mendunia.
Sanggar Reak Tibelat pun mulai berkolaborasi dengan seniman lainnya seperti Tisna Sanjaya. Tawaran demi tawaran pentas terus berdatangan, dari mal hingga ke Galeri Nasional Indonesia.
Baca juga: Petani dan Seniman Ramai-ramai Ajak Ganjar Makan Bareng Jelang Lengser
Tidak sampai di situ, kesempatan mengenalkan kesenian Reak ke khalayak luas datang pada 2017. Sanggarnya diundang untuk tampil di Australia.
"Sekitar tiga mingguan di Australia sambutannya sangat baik. Apalagi penontonnya bule ada yang tanya-tanya dan kaget lihat atraksi kesurupan pada pemain Reak. Menurut mereka aneh karena siang-siang bisa kesurupan," ucap Bah Enjoem.
Namun yang terpenting dari semua pencapaian itu adalah pandangan masyarakat pada kesenian Reak mulai terbuka. Ditambah, beberapa kali mahasiswa dari dalam dan luar negeri datang ke sanggarnya untuk belajar kesenian buhun ini.
"Ada yang datang dari Australia sama negara lainnya sampai ke sini (sanggar). Ada juga mahasiswa Jepang datang untuk belajar caranya kesurupan. Di mata mereka aneh, kesurupan ini unik," terang Bah Enjoem.