"Sekarang kadang satu rit Rp 40.000, belum bensin Rp 20.000 paling sedikit. Kalau mau aman ya harus dapet Rp 120.000, tapi kita enggak dapet keuntungan. Aman banget ya lebih dari segitu, Rp 150.000 atau Rp 200.000, tapi susah banget dapet segitu," ujarnya.
Jika hari ini sopir angkot tak mencapai target, artinya besok harus bayar utang atau nombok.
Tak jarang, para sopir mengeluh soal uang yang dibawa ke rumah tak menentu.
"Kenyataannya saya butuh makan, terus menafkahi istri dan anak saya yang masih sekolah. Untungnya, sekarang satu anak saya sudah lulus dan sekarang kerja, sedikit bisa bantu lah," ungkap dia.
Tak terasa angkot yang dikemudikan Aep sudah melewati tiga pemberhentian, salah satu penumpang turun di sekitaran Jalan Terusan Kopo-Katapang.
Penumpang Ibu dan anak itu membayar Aep Rp 5.000.
"Tuh, tingali masih aya nu mayar sakieu (Tuh lihat masih ada yang bayar segini)," sambil menunjukan ongkos yang diberikan penumpang tadi.
Padahal, pengumuman kenaikan tarif angkot sudah ditempel sejak kenaikan BBM lalu.
Aep berkata, dulu ongkos jarak dekar Rp 2.000 kemudian naik jadi Rp 3.000.
"Kalau jauh (Leuwi Panjang - Soreang), dulu banyaknya ngasih Rp 10.000 sekarang kita naikan jadi harusnya bayar Rp 12.000. Tapi kalau penumpangnya ngerti ya kadang ngasih lebih, tapi kalau yang enggak ngerti, mau gimana saya serba salah," kata Aep.
Disinggung mengenai permintaan Pemerintah agar angkutan umum bisa beradaptasi dan bersaing dengan transportasi online, terutama mengenai fasilitas, Aep hanya tertawa.
Ia menyebut keinginan atau permintaan pemerintah tersebut bukan tidak didengarkan oleh pengusaha angkot atau para sopir angkot. Namun, pemerintah seharusnya melihat kondisi di lapangan.
"Kalau wacana itu sudah santer pas waktu online mulai merambah tuh, tapi mana realitanya. Kaya angkot di Kota Bandung ada yang fasilitasnya diperbarui dan lain halnya, sama saja masih susah bersaing," tuturnya.
Tak hanya itu, Aep menambahkan, janji pemerintah untuk mengajak para sopir angkot agar bisa menjadi sopir Bus atau Trans masih belum terealisasi.
"Mana coba janji yang itu, enggak ada, Bus Trans masih jalan dengan sopirnya, kita masih jalan aja dengan angkot kita," kata dia.
Aep menginginkan pemerintah betul-betul serius jika ingin membawa perubahan pada angkutan masal seperti angkot.
Hal-hal seperti kendaraan online, kenaikan harga BBM mesti diperhatikan dan dicarikan solusinya, agar keinginan pemerintah meningkatkan kualitas fasilitas Angkot bisa terpenuhi.
"Kita lihat contoh tadi yang bayar ongkos berdua saja bayarnya segitu, artinya ada yang membuat masyarakat berat juga. Nah saya pengen pemerintah tuh lihat dan tahu bagaimana keadaan di lapangannya. Jadi seimbang gitu, setoran kita bisa normal, pengusahanya bisa berinovasi, kita bisa bawa uang lebih ke rumah. Enggak kaya sekarang semuanya berantakan," ungkapnya.
Ria Lestari (27) warga Soreang, Kabupaten Bandung yang juga penumpang angkot Aep, mengatakan masih membutuhkan angkot sebagai sarana transportasi ke tempat kerjanya di Katapang.
"Saya enggak bisa bawa motor, ya satu-satunya transportasi ya ini angkot. Udah lama saya pake angkot ini sejak sekolah," kata Ria.