Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Duduk Perkara Kejaksaan Hentikan Kasus Pria Bunuh Pencuri di Banten, Sebut Bentuk Pembelaan Terpaksa

Kompas.com - 16/12/2023, 18:00 WIB
Rachmawati

Editor

"Setiap orang yang terpaksa melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan karena pembelaan terhadap serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan dalam arti kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain.“

Dan, Pasal 43 KUHP teranyar berbunyi:

"Setiap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum, tidak dipidana.“

Baca juga: Kronologis Peternak di Banten Jadi Tersangka, Bela Diri Lawan Pencuri Berakhir di Penjara

Menurut Ifti, kemunculan polemik kasus seperti di Banten lantaran adanya persoalan dalam penetapan perkaranya oleh aparat penegak hukum.

Dia menambahkan, tidak seluruh aparat penegak hukum memiliki latar belakang pendidikan hukum yang mumpuni di tingkat penentapan kasus.

"Kalau bicara kepolisian, itu tidak semuanya sarjana hukum. Bahkan, mereka tidak diwajibkan jadi sarjana hukum kayak jaksa,“ katanya.

Selain itu, kata Ifti, "Kita masih belum punya framework [kerangka kerja] yang jelas juga, misalnya menentukan daya paksa, ada indikasinya, maka dia, bisa langsung dihentikan [kasusnya]“.

Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Ganjar Laksmana Bonaprapta mengatakan ada sejumlah syarat tindakan pidana yang tidak bisa dipenjara, apa yang disebut "belapaksa“. Syarat itu antara lain:

  • Ada serangan/ancaman serangan;
  • yang melawan hukum;
  • Seketika itu;
  • Ditujukan kepada (keselamatan tubuh) diri sendiri atau orang lain, atau keselamatan harta benda sendiri atau orang lain, atau kehormatan kesusilaan diri sendiri atau orang lain.

"Selain itu ada syarat tambahan yaitu proporsionalitas perbuatan dibanding serangan, dan subsidiaritas perbuatan karena tidak ada pilihan selain beladiri,“ kata Bona – sapaan Ganjar Laksmana Bonaprapta – dalam keterangan tertulis kepada BBC News Indonesia.

Menurutnya, polemik tentang kasus belapaksa yang berakhir pada pembunuhan terhadap pelaku pencurian terjadi karena "penegak hukum tidak paham konsep hukum belapaksa.“

"Masyarakat juga enggak paham. Tapi kalau masyarakat kita maklumi. Kalau penegak hukum?!" tambahnya.

Bagaimana konteks kasus di Serang?

Kapolres Serang Kota, Kombes Pol Sofwan Hermanto mengatakan, kepolisian tidak menggunakan Pasal 49 KUHP terkait pembelaan terpaksa dalam kasus ini karena: "Dari fakta penyidikan, saudara M dengan saudara W, ini ada jarak lima meter. Dan, saat itu sodara W dalam posisi pasif. Ini dari fakta penyidikan.”

Sofwan menyebut kasus ini berbeda dari kasus-kasus serupa, termasuk yang juga disinggung oleh Mahfud MD.

"Berbeda dari peristiwa di beberapa tempat tentang pembelaan diri, karena sudah terbukti akan melakukan penyerangan,” katanya.

Kepolisian, kata dia, juga mempertimbangkan jalur keadilan restoratif bagi M.

Baca juga: Polisi Jadikan Peternak di Serang Banten Tersangka Usai Bela Diri Lawan Pencuri

Akan tetapi setelah mendalaminya, kasus M tidak masuk dalam kategori keadilan restoratif karena "menghilangkan nyawa orang lain”.

"Atas dasar itu, sehingga kami meningkatkan prosesnya menjadi penyidikan supaya perkara ini terang benderang,” tambah Sofwan.

Kapolres Serang Kota juga menegaskan pihaknya telah menjalankan kasus ini sesuai prosedur, KUHAP dan Peraturan Kepolisian.

"Kami sudah berjanji dengan saudara M akan mendampingi, mengawal kasus ini, supaya M mendapatkan hukuman yang seringan-ringannya,” katanya.

Kasus korban kriminalitas dijadikan tersangka

Seperti disinggung Mahfud MD, penetapan tersangka terhadap korban pencurian yang membela diri pernah terjadi di Bekasi pada 2018.

Kasus serupa juga pernah terjadi pada 2019 di Kabupten Malang, Jawa Timur yang melibatkan seorang pelajar berinisial ZA, 17 tahun.

Beda nasib dengan kasus di Bekasi, di mana korban yang membunuh karena terancam memperoleh piagam penghargaan dari polisi, ZA justru menjadi anak yang berhadapan dengan hukum.

Pengadilan menyatakan ZA bersalah melakukan penganiayaan yang berujung kematian. Ia dihukum satu tahun pembinaan.

Kasus ini berawal saat ZA bersama teman dekatnya, V didatangi Misnan dan gerombolannya. Misnan hendak membegal ZA dan mengancam memperkosa V. ZA lantas mengambil pisau, dan menusuk Misnan hingga tewas.

Selain itu, kasus serupa pernah terjadi di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang melibatkan korban begal berinsial AS pada 2022. AS ditetapkan tersangka karena membunuh orang yang akan membegalnya.

Kasus ini sempat ramai diberikan yang ujungnya membuat Polda NTB menghentikan kasus AS. Peneliti hukum menilai kasus-kasus ini membuktikan "kepolisian perlu dibenahi".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com