Lalu, bencana alam ini juga melemparkan barang-barang kecil ke angkasa, sejumlah bangunan pabrik mengalami kerusakan, menggulingkan mobil, sampai mematahkan dahan-dahan pohon besar.
Dengan kerusakan yang ditimbulkan ini, Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin memperkirakan kecepatan angin di atas 65km/jam atau masuk kategori tornado Skala Fujita di level 0.
“Makanya saya sebut sudah masuk F0 [Skala Fujita level 0] kayaknya. 65km/jam sudah terpenuhi. Dan itu umum, bukan kata saya. Itu teori. Teori angin kencang dan tornado, karena angin biasa, kalau tidak mutar tidak disebut tornado,” kata Erma.
Baca juga: Puting Beliung di Rancaekek, Jalur Bandung-Garut Macet Total
Selain itu, hasil pengamatan sementara dari video-video yang beredar, Erma meyakini ini sebagai tornado karena radiusnya melebihi dua kilometer. Berdasarkan keterangan warga, keberadaan tornado terjadinya sekitar 15-20 menit.
Kata Erma, untuk kategori puting beliung biasanya terjadi singkat atau kurang dari 10 menit, dan radius putaran anginnya kurang dari dua kilometer.
“Kalau di Indonesia, biasanya puting beliung dianggap skala mikro, makanya disebut fenomena lokal biasa. Durasi singkat, karena dia tidak bisa membesar. Kalau sudah lebih dari dua kilometer, dia sudah termasuk skala meso. Skala meso, itu tornado berada di situ,” jelas Erma.
Ia juga melihat indikasi fenomena alam ini sebagai tornado karena bentukan awan yang membuat bulatan tertangkap lewat foto Satelit Himawari. “Secara visual awan saja, sudah bisa ditangkap oleh satelit. Bagaimana kita tidak bisa sebut sebagai tornado, begitu kan?”
Baca juga: BMKG Paparkan Bedanya Puting Beliung Rancaekek dengan Tornado di Amerika Serikat
Dalam fenomena puting beliung, biasanya tidak nampak dari citra satelit.
Namun, ia mengakui perlu penelitian lebih lanjut untuk membuktikan semuanya secara ilmiah. Persoalannya sejauh ini belum diketahui secara pasti kecepatan angin di lokasi kejadian.
“Nah, untuk kecepatan angin kemarin berapa? Ini yang sulit dibuktikan, karena nggak ada alat ukurnya di lokasi kejadian,“ kata Erma yang akan segera menginvestigasi di lapangan, juga melakukan rekonstruksi simulasi di komputer.
Menurut pakar iklim dan lingkungan di Universitas Gadjah Mada (UGM), Emilya Nurjani dampak yang ditimbulkan dari kejadian angin kencang di Rancaekek merupakan angin puting beliung dengan kecepatan yang tinggi. “Karena tidak ada data pengukuran [angin] saat kejadian,” katanya.
“Berdasarkan video yang beredar, pusaran angin yang ada tidak membentuk kolom udara, data kecepatan angin saat kejadian tidak tersedia, berdasarkan dampak yang ditimbulkan termasuk dalam kelas dampak angin kencang skala 62-117 km/jam,” tambah Emilya.
Baca juga: Kenapa Bisa Terjadi Angin Puting Beliung? Berikut Faktor Penyebabnya
“Puting beliung secara visual merupakan fenomena angin kencang yang bentuknya berputar kencang menyerupai belalai, dan biasanya dapat menimbulkan kerusakan di sekitar lokasi kejadian,” kata Deputi Bidang Meteorologi di BMKG, Guswanto dalam keterangan tertulis kepada BBC News Indonesia, Kamis (22/02).
Dalam pantauan BMKG, fenomena puting beliung terjadi tepat di wilayah Rancaekek Bandung pada Rabu (21/02) sekitar pukul 15.30 – 16.00 WIB.
Kondisi angin di sekitar Jatinangor yang terukur pada jam kejadian mencapai 36,8 km/jam. Namun, angka kecepatan angin ini tidak bisa dipukul rata di lokasi-lokasi lain yang terdampak angin puting beliung.
Baca juga: Berkaca dari Fenomena Rancaekek dan Jatinangor, Bagaimana Potensi Puting Beliung ke Depan?
Kata pakar iklim dan lingkungan Emilya Nurjani, penelitian tentang angin cukup banyak dilakukan tetapi kendala utama adalah metode mengukur kecepatan angin pada saat kejadian.
“Karena alat-alat pengukuran angin terpasang di stasiun klimatologi yang terkadang jauh dari tempat kejadian. Jika ingin mengukur kecepatan angin dari citra, maka angin puting beliung tidak akan tergambar, karena tertutup oleh awan yang di atasnya,” kata Emilya.
Lebih lanjut Guswanto menjelaskan, puting beliung terbentuk dari sistem Awan Cumulonimbus – awan tebal yang mengadung petir dan kandungan air hujan melimpah. Awan ini punya karakter menimbulkan terjadinya cuaca ekstrem.
Tapi tidak setiap Awan Cumulonimbus menyebabkan terjadinya puting beliung, karena ini sangat bergantung dari kondisi liabilitas atmosfernya.
“Kejadian angin puting beliung dapat terjadi dalam periode waktu yang singkat dengan durasi kejadian umumnya kurang dari 10 menit,” kata Guswanto.
Baca juga: Benarkah Pusaran Angin di Rancaekek dan Jatinangor Tornado?
Prospek fenomena puting beliung umumnya lebih sering terjadi pada periode peralihan musim, dan tidak menutup kemungkinan terjadi juga di periode musim hujan.
Istilah tornado biasa dipakai di wilayah Amerika – saat pusaran angin meningkat intensitasnya dengan kecepatan angin hingga ratusan kilometer per jam, dimensi yang besar, dan radius puluhan kilometer.
Sementara itu, di Indonesia fenomena yang mirip tersebut diberikan istilah puting beliung dengan karakteristik kecepatan angin dan dampak yang relatif tidak sekuat tornado besar yang terjadi di wilayah Amerika, kata Guswanto.
“Sehingga kami mengimbau bagi siapapun yang berkepentingan, untuk tidak menggunakan istilah yang dapat menimbulkan kehebohan di masyarakat, cukuplah dengan menggunakan istilah yang sudah familiar di masyarakat Indonesia, sehingga masyarakat dapat memahaminya dengan lebih mudah,” lanjut Guswanto.
Di sisi lain, Emilya Nurjani melihat perbedaan tornado dan angin puting beliung berdasarkan kecepatan angin, dan tempat kejadian.