BANDUNG, KOMPAS.com - Meski usianya tak lagi muda, keterampilan Karmini dalam membuat tusuk sate masih tergolong mahir. Jari-jarinya masih lincah 'memainkan' pisau serut untuk membuat tusuk sate yang hanya memiliki ukuran milimeter.
Tak hanya pisau raut, wanita 63 tahun itu masih mampu membelah bambu dengan sebilah golok.
Tangan kanannya terlihat memegang ruas bambu berukuran sejengkal orang dewasa. Sementara tangan kirinya mengenggam golok dan mendaratkan benda tajam itu ke bambu hingga membuatnya terbelah.
Baca juga: Gelar Sayembara Buang Kucing Liar, DPRD Jabar Diminta Tiru Cara Gedung Sate
Tak ada keraguan, proses tersebut dilakukannya berkali-kali. Pekerjaan yang biasa dilakukan laki-laki itu terbilang biasa dilakukan oleh warga Kampung Randukurung, Desa Kutawaringin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Rutinitas seperti itu hampir bisa ditemui di sana. Kegiatan memotong, membelah, dan mengiris bambu untuk dijadikan tusuk sate bukan lagi pemandangan yang aneh. Ya kampung itu dikenal sebagai sentra produksi tusuk sate di Kabupaten Bandung.
"Ya memang di sini mah kaya gini, biasa ngerjainnya di halaman rumah," kata Karmini ditemui di kediamannya, Rabu (12/6/2024).
Baca juga: Jelang Idul Adha, Stok Elpiji di Lampung Ditambah 2 Kali Lipat
Karmini mengakui, mestinya pekerjaan yang dia tekuni merupakan pekerjaan laki-laki. Menurutnya, laki-laki akan lebih cepat membuat tusuk sate, karena memiliki kemampuan lebih.
Namun, ia mesti menelan pil pahit, usai suaminya meninggal dunia beberapa tahun lalu. Karmini terpaksa harus melanjutkan membuat tusuk sate untuk menyambung hidup.
"Mau gimana lagi, udah takdir, saya mah jalani aja, yang penting halal. Terus di sini kan semua juga pada bikin tusuk sate," ungkapnya.
Membuat tusuk sate membutuhkan waktu tak sebentar. Awalnya batang bambu berukuran 5 sampai 6 meter dipotong menjadi pelbagai ukuran.
Untuk memotong bambu, gergaji yang digunakan bukanlah gergaji mesin, namun Karmini masih menggunakan gergaji tradisional.
Setelah dipotong menjadi beberapa ukuran, potongan bambu itu kembali dipotong hingga seukuran lidi.
Di sini lah keterampilan dan ketelatenan sebagai pembuat tusuk sate diuji. Pasalnya tusuk sate hanya memiliki ukuran beberapa milimeter saja.
Setelah itu, tusuk sate dikumpulkan untuk dilakukan proses selanjutnya yakni peruncingan.
"Enggak semua sama, panjang itu tergantung pesanan juga, mulai dari 20 sampai 23 sentimer itu untuk potongan bambu awal, kalau jadinya mah ya paling sebesar lidi gini, nanti usah jadi kaya lidi gini baru disekeutan (diruncingkan)," ujarnya.
Kelihaian membuat tusuk sate tak berhenti sampai memotong bambu saja, proses meruncingkan tusuk sate, kata dia, membutuhkan keterampilan pula.
Bagi orang lain, rasa jenuh kerap menyelimuti saat melakukan proses meruncingkan tusuk sate. Namun tidak bagi Karmini, buktinya, ribuan tusuk sate bisa terkumpul dari kelincahan tangannya.
Proses peruncingan hanya dilakukan bila bandar meminta dibuatkan untuk kebutuhan sate. Namun baru-baru ini, ada juga yang memesan tusuk tanpa diruncingkan. Biasanya untuk kebutuhan pedagang Cilor atau Cimol.
Usai proses meruncingkan, tusuk sate kemudian dijemur. Proses mengeringkan ini hanya butuh waktu satu sampai dua hari, itu pun jika musim kemarau.
Jika musim hujan, tusuk sate akan kering dalam waktu tiga hari. Usai kering, ribuan tusuk sate itu akan digilas menggunakan kaki agar lebih halus.
"Kalau musim hujan biasanya pakai bara api, jadi tusuk satenya disimpan di atas tungku biar cepet keringnya," kata dia.
Jika sudah halus, tusuk sate akan diikat, biasanya satu ikat tusuk sate berjumlah 200 buah.
Dia menjelaskan, satu batang bambu dengan harga Rp 50.000 akan menghasilkan belasan ribu tusuk sate. Satu batang bambu bisa dipergunakan untuk satu pekan.
"Kalau sudah jadi tusuk sate dijual harganya Rp 1.500 sampai Rp 2.000 saru per-ikat, itu tergantung ukuran," jelas dia.
Jelang Idul Adha, Karmini mengungkapkan, pemesanan tusuk sate bisa meningkat berkali-kali lipat. Jika hari-hari biasa hanya membutuhkan satu batang bambu, memasuki Idul Adha, Karmini bisa memesan dua atau tiga batang bambu.
"Alhamdulillah kalau Idul Adha mah suka banyak pesenan, saya juga kadang suka di bantu cucu terutama proses peruncingan," katanya.
Meski di era modern, Karmini dan warga lainnya masih memilih cara tradisonal untuk membuat tusuk sate.
Bukan tak ingin memproduksi tusuk sate menggunakan mesin, namun mereka terkendala modal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.