"Saya ngungsi di saung, karena golodog di pake barang. Sama kandang ayam. Enggak apa-apa yang penting bisa istirahat aja," ujarnya.
Ayun tidur di saung tersebut beserta suami dan cucunya. Jika malam hari dalam kondisi hujan, dan saung penuh, sebagian dari mereka meminta bantuan tentangga untuk sekadar bermalam.
Rasa malu, sudah tak berlaku untuknya. Warga yang lain juga ikut merasakan bagaimana penderitaan hidup berdampingan dengan banjir selama puluhan tahun.
"Iya gimana daripada tidur di (tempat) banjir, sekarang mah enggak ada pengungsian kayak dulu," kata dia.
Tidur di saung bersama ayam, atau tidur di tetangga merupakan dua pilihan sulit. Namun ia mesti berdamai dengan kondisi tersebut.
"Ya kalau banjir ke sini, kalau rumah kebanjiran. Kalau enggak kebanjiran mah biar di rumah. Ya sekarang harus ke mana," ungkap dia.
Dulu, ketika banjir datang warga Kampung Cijagra yang tak memiliki rumah lantai dua dipersilahkan untuk mengungsi di sebuah garasi milik dermawan bernama Joko.
Warga, sambung Ayun, dipersilahkan Joko untuk menggunakan fasilitas kamar mandi dan air bersih untuk bertahan hidup sampai banjir surut.
"Kalau dulu pengungsian ke Pak Joko, di sana di jalan, cuman baiknya Pak Joko dulu warga boleh pakai WC dan lainnya, listrik juga, itu kadamg lama 20 hari lebih," kata dia.
Ayun mengatakan, hampir semua warga di RW 10 Kampung Cijagra terdampak banjir luapan Sungai Cikapundung.
Meski tetap bertahan dengan segala kondisi, hingga hari ini pemerintah belum memberikan bantuan bagi warga yang terdampak.
"Ya kalau disebut butuh tempat mengungsi ya butuh, tapi sekarang belum ada," katanya.
Ayun yang sejak lahir sudah berada di Kampung Cijagra mengatakan, sejak kecil kampungnya merupakan langganan banjir.
Bahkan ia merasakan betul bagaimana perubahan banjir dari tahun ke tahun.
"Ibu mah asli orang sini, si bapak orang sini, kakek nenek buyut ibu asli, orang sini. Iya dari kecil saya tahu gimana kondisi banjir," ungkap dia.