Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Pengusaha Tekstil Kabupaten Bandung Bertahan dari Himpitan Pasar Digital dan Impor

Kompas.com - 25/09/2023, 17:16 WIB
M. Elgana Mubarokah,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

"Yang terdampak dari barang impor ini (adalah) kami yang di hilir. (Menyebabkan) permintaan di online atau pasar konvensional seperti pasar Tanah Abang berkurang permintaannya. Itu terdampak ke kami," jelasnya.

Nandi pun mengatakan, data dari Asosiasi Konveksi Jawa Barat, banyak industri tekstil gulung tikar bahkan tutup karena masuknya barang impor.

"Jadi memang Jabar ini sudah banyak sekali, udah bukan hitungan satu atau dua tapi sudah ribuan, mungkin pengaruh dampaknya pengangguran sudah jutaan, ini dua bulan ini sedang merosot," ujar Nendi.

Menurutnya, berkompetisi dengan harga barang impor yang lebih murah lebih sulit dibanding mempertahankan diri dari himpitan market place.

"Kita tidak akan bisa bertahan lama nih, ketika impor ini membanjiri ke kita ya, ke dalam negeri, ya mohon maaf ini akan terjadi pengangguran yang luar biasa. Angka pengangguran kalau secara real IKM itu susah ya, tapi ada. Di setiap daerah itu laporan ke Organisasi, contoh kalau di sini itu ada satu kampung yang memang dia memproduksi piyama, itu sudah memang sudah tidak beroperasi sekarang," tutur dia.

Nendi membenarkan jika wilayah Kabupaten Bandung hampir 60 persen pelaku IKM.

"Kalau di Jabar paling banyak itu di kabupaten Bandung IKM. Kabupaten Bandung itu 60 persen pelaku IKM. Kalau yang tutup mah menyebar ke berbagai daerah, ke Cirebon gamis. Jadi IKM konveksi itu sudah banyak penutupan," ungkapnya.

Ikut berdagang demi bertahan

Ia menuturkan, untuk bisa bertahan dari gempuran barang impor, Nendi terpaksa harus ikut berdagang dengan membuat akun market place.

"Akhir-akhir ini maraknya barang impor untuk barang tersebut, kami kesulitan untuk menjual sehingga mau enggak mau kita ikut berjualan," kaya Nendi.

Baginya, langkah tersebut merupakan suatu pantangan. Namun, apa boleh buat, ikut berjualan menjadi cara agar barang yang tertahan di pabriknya bisa terjual.

"Stok kami menumpuk sampai sekarang 1,5 juta meter ya, produksi masih berjalan enggak tahu sampai kapan kami masih bisa produksi. Kebayang awalnya produsen kini menjadi pedagang, harus beradaptasi lagi," ujarnya.

Baca juga: Industri Tekstil di Jabar Terancam Setop Produksi, Imbas Predatory Pricing di Social Commerce

Meski sempat menjadi pengusaha yang cukup sukses, kini Nendi hanya bisa berupaya memperpanjang nafas para karyawannya.

Keluhan pada Pemerintah, melalui jalur organisasi sudah ditempuhnya, bahkan ia sudah lupa berapa kali mempertanyakan regulasi yang bisa membentengi usahanya dari ganasnya digitalisasi dan aktifitas Impor.

"Saya enggak mikir omset harus naik signifikan, sekarang agar bisa bertahan, barang terjual, karyawan ke bayar, keuntungan pas-pasan juga diterima. Wah kalau bantuan, ya di mohon dibantu aja untuk perlindungan pasar kami," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com