“Kalau lahannya sewa, ya lebih besar lagi biayanya. Rata-rata sewanya Rp 12 juta per hektare untuk satu kali musim tanam. Kalau saya sendiri tidak sewa, tapi maparo, bagi hasil (panen) sama yang punya lahan," ujar Unar.
Dindin (47), petani asal Munjul, Kecamatan Cilaku, Cianjur, ini baru sepekan menanam padi di atas lahan seluas 5.000 meter persegi.
Namun, sawah setengah hektar itu bukan miliknya, melainkan sewa.
Dindin harus mengeluarkan biaya Rp 6 juta untuk sewa lahan selama musim tanam atau hingga lima bulan ke depan.
Namun, Dindin tak membayarnya langsung di muka. Biaya sewa tersebut akan dibayar dengan gabah saat panen nanti.
Alhasil, saat panen tiba, Dindin mengaku kadang sama sekali tidak mendapatkan hasil, terlebih ketika harga jual gabah anjlok.
“Setiap musim panen rata-rata bisa dapat Rp 1,5 juta untuk luasan setengah hektare itu. Tapi kadang malah nombokan (minus), sering malah,” kata Dindin.
Pasalnya, penghasilannya itu masih harus dikeluarkan sebagai penambah modal untuk musim tanam berikutnya.
“Makanya kalau tidak punya penghasilan sampingan, ya petani-petani seperti kita ini repot,” ucapnya.
Karena itu, selama masa tanam, Dindin juga menanam sayuran dan palawija, bahkan terkadang kerja serabutan menjadi buruh bangunan.
Dindin dan Unar berharap, pemerintah lebih peduli terhadap nasib petani yang selama ini dirasakan mereka masih termarginalkan, baik oleh regulasi maupun kondisi ekonomi dan sosial yang ada.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.