Menjadi relawan tentunya harus banyak berkorban. Bahkan, Nana beberapa kali merogoh tabungan pribadinya untuk operasional.
"Itu tak jadi masalah selama kita membantu orang," ucap dia.
Nana mengaku sempat mengalami sakit. Saat itu, dia berkata pada diri sendiri, jika sembuh ingin ditempatkan di tempat yang lebih bermanfaat untuk orang lain.
"Saat masuk Tagana sampai lupa pernah sakit. Dulu pernah punya kecemasan tinggi. Allah memberi jalan kesembuhan sampai sekarang, alhamdulillah," ucap Nana.
Dia berpikir, saat membantu orang lain, Allah akan mempermudah rezekinya.
"Alhamdulillah saya di Cianjur 4 bulan. Yang di rumah juga aman (ada rezekinya)," ucap Nana.
Nana mulai bergabung ke Tagana pada 2016. Sebelumnya, dia aktif di relawan BPBD.
"Setelah tsunami tahun 2006 di Pangandaran, sempat bikin komunitas sendiri. Ini terpicu dari tsunami 2006," katanya.
Saat itu, Nana melihat daerahnya sendiri dilanda bencana. Dia kemudian membentuk komunitas relawan mandiri bersama anak-anak Vespa. Komunitasnya tanpa nama.
Ada beragam kegiatan yang dilakukan, mulai dari menggalang donasi hingga membuat dapur umum. Sebab saat itu ia melihat warga rebutan nasi dan membutuhkan bantuan.
"Di kampung sendiri sampai kekurangan support logistik saat tsunami," kisahnya.
Sejak saat itu, Nana ikut komunitas pengurangan risiko bencana di tingkat desa. Kemudian mengikuti pelatihan Unit Cepat Siaga di BPBD provinsi.
"Saya ketagihan menolong orang," tegasnya.
Pada tahun 2016, Nana dipertemukan dengan Tagana. Ia pun mengikuti pelatihannya dan gabung menjadi anggota.
Namun, ia tidak terlalu fokus, karena masih bekerja. Hingga suatu hari ia memutuskan fokus di Tagana dan melepas pekerjaannya.