Editor
BANDUNG, KOMPAS.com - Peneliti dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Rai Mantili mengatakan, Indonesia belum memiliki landasan aturan apapun berkaitan dengan kerugian immateriil pada perkara wanprestasi.
Hal ini membuat hakim selalu kesulitan membuktikan kerugian immateriil yang diajukan penggugat.
Rai menyampaikan, akhir-akhir ini gugatan ganti kerugian immateriil semakin banyak dilayangkan dalam berbagai kasus perbuatan melawan hukum ataupun wanprestasi.
Baca juga: Atasi Masalah Rokok, Pusat Kajian Pengurangan Bahaya Dibangun di Unpad
Tuntutan immateriil tersebut meliputi ganti rugi seperti kecemasan, stres, hingga kerugian lain yang tidak dapat diukur secara material.
Sayangnya, lanjut Rai, belum ada landasan hukum yang jelas untuk mengukur kerugian tersebut di Indonesia.
“Belum ada aturannya (undang-undang). Dalam kejadian sehari-hari, banyak orang menggugat ganti rugi immateriil, tetapi belum ada aturannya. Padahal kita adalah negara hukum, apa-apa harus ada aturannya agar ada kepastian hukum,” jelas Rai dalam podcast Hasil Riset dan Diseminasi (HaRD Talk) Unpad.
Baca juga: FK Unpad Rekomendasikan Sanksi Berat untuk Dosen Pelaku Perundungan
Dalam rilisnya, Rabu (25/9/2024), Rai mengungkapkan, absennya kepastian dan landasan hukum tersebut memengaruhi cara hakim mengadili perkara yang menggugat ganti kerugian immateriil.
Hakim disebut selalu kesulitan membuktikan kerugian immateriil yang dituntut penggugat.
Pasalnya, hakim tidak memiliki pedoman apapun untuk menghitung, menilai, maupun memberikan putusan terkait jumlah ganti rugi yang harus dibayar.
“Bisa saja melihat putusan hakim terdahulu, dijadikan pedoman hakim selanjutnya. Tapi kan itu berbeda, bukan sumber hukum pertama. Sumber hukum pertama itu kan Undang-undang,” lanjutnya.
Rai menilai, tak adanya landasan hukum kerap membuat penggugat melayangkan gugatan dengan nilai fantastis. Seperti pada kasus artis yang menuntut kerugian immateriil kepada sebuah hotel dengan nilai mencapai Rp 100 miliar pada 2023.
Padahal, menurut Rai, seharusnya penggugat tetap mempertimbangkan kesanggupan pihak tergugat untuk memenuhi tuntutan tersebut.
“Karena tidak ada aturannya, jadi penggugat minta saja ganti rugi sebanyak-banyaknya. Nanti kan terserah hakim berapa yang dikabulkan. Yang penting dengan nilai segitu atau di bawahnya,” ucapnya.
Dia menilai, hal ini berdampak banyak hakim tidak memiliki dasar untuk membuat keputusan yang adil terhadap kedua belah pihak. Akhirnya, hakim lebih banyak memutuskan menolak gugatan untuk menghindari adanya kesalahan hukum.
“Rata-rata hakim akhirnya memutuskan nggak mengabulkan gugatan, karena takut salah mungkin ya. Jadi yang dikabulkan hanya gugatan materialnya,” tuturnya.
Rai kemudian membandingkan produk hukum yang dimiliki Belanda, sebagai salah satu negara yang menjadi acuan pembuatan produk hukum di Indonesia.
Menurutnya, Belanda menjadi salah satu negara yang telah menetapkan kepastian hukum perdata terkait kerugian immateriil melalui pembentukan undang-undang.
“Mengenai pembuktian dan lain sebagainya memang belum ada, tetapi sudah ada definisinya setidaknya. Jadi, untuk tuntutan tersebut yang melawan hukum dan wanprestasi sudah bisa digugat,” jelas Rai.
Selain itu, Rai juga meneliti hukum perdata wanprestasi yang ada di Inggris. Menurutnya, meskipun tak memiliki undang-undang, tetapi ada pedoman yang jelas terkait kerugian immateriil di Inggris.
Pedoman di Inggris pun disusun oleh para ahli yang meliputi berbagai bidang, mulai dari akademisi, kepolisian, jaksa, hingga pengacara. Pedoman tersebut pun merujuk pada putusan hakim sebelumnya atau yurisprudensi.
“Jadi bagaimana cara penghitungan kerugiannya, lalu ada tingkatannya, untuk bisa mengukur kerugian immateriil dari suatu kejadian,” ucap Rai.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, kondisi hukum perdata yang hadir masih kalah jauh dengan Belanda maupun Inggris.
Bahkan, Rai mengungkap para pelaku hukum seperti pengacara sekalipun belum memiliki pemahaman yang tinggi terhadap masalah kerugian immateriil. Termasuk, membedakan antara kerugian material dan immateriil.
“Saya juga melihat lawyer pun sepertinya dalam menetapkan ini kerugian material atau immateriil masih campur aduk ya,” lanjutnya.
Kendati demikian, Rai mengaku bahwa penghitungan kerugian immateriil cukup rumit dan bisa turut dipengaruhi oleh status sosial. Semakin tinggi status sosial seseorang, biasanya kerugian immateriil yang dialami akan semakin besar.
“Contohnya ketika pencemaran nama baik terhadap seorang Presiden dengan seorang ketua RT, itu kan pasti berbeda ya nilai kerugiannya secara status sosial,” jelas Rai.
Rai pun berharap kedepannya dapat berkolaborasi dengan disiplin ilmu lain yang bersinggungan. Termasuk, dengan ilmu psikologi maupun ilmu ekonomi untuk mengukur landasan penghitungan kerugian immateriil.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang