INDRAMAYU, KOMPAS.com - Heru Apriangga (30), masih tak menyangka dirinya bisa pulang ke rumahnya di Blok Bungkul Barat Desa Bojongsari, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Selama 8 hari, dia dan teman-temannya berjalan kaki untuk ke luar dari wilayah terisolasi usai banjir bandang.
Pengalaman tersebut menjadi perjalanan hidup paling menegangkan yang pernah dia alami.
Heru sendiri merupakan pekerja bangunan yang saat bencana terjadi sedang berada di Kabupaten Aceh Tengah, tepatnya di wilayah Pamar.
Dia bersama puluhan pekerja lain, berangkat ke Aceh usai mendapat pekerjaan membangun markas Batalyon TNI di kawasan hutan.
Saat ditemui di rumahnya, Minggu (14/12/2025), raut wajah Heru masih terlihat letih.
Dari sorot matanya, Heru menyimpan banyak kenangan soal betapa mengerikannya dampak yang ditimbulkan oleh bencana banjir bandang tersebut.
“Jadi yang dilihat di medsos itu sebenarnya hanya sebagian kecil, aslinya itu jauh lebih parah lagi,” kata Heru mengenang kejadian yang ia alami.
Awal mulanya, pada Jumat (21/11/2025), Heru bersama 23 pekerja lain dari Indramayu dan Cirebon berangkat ke Aceh Tengah dan tiba di lokasi pada Rabu (26/11/2025) malam.
Namun, petaka datang tak lama setelah mereka tiba.
“Kita berangkat itu Jumat tanggal 21, kita sampai itu Rabu jam 9 malam dan bencana itu terjadi sekitar jam 1 malam,” kata Heru.
Baca juga: Update Banjir Aceh Utara: Korban Jiwa Capai 163 Orang, 6 Masih Hilang, Hampir 70.000 Mengungsi
Malam dini hari itu, listrik tiba-tiba padam total. Sinyal ponsel menghilang.
Dalam gelap gulita, Heru mendengar suara air mengalir deras bercampur batang kayu.
Dalam situasi itu, Heru turut mendengar sayup-sayup suara jeritan orang minta tolong dari kejauhan.
“Lokasi kita itu untungnya di atas jadi tidak kena langsung, kita juga gak bisa ngapa-ngapain karena listrik mati semua, sinyal juga gak ada. Saya terus membangunkan teman-teman lain kan, kami menyaksikan banjir itu, kira-kira 100 meter lah dari tempat kami,” terangnya.
Keesokan harinya, Heru dan teman-temannya memulai pekerjaan mereka membangun markas Batalyon.
Di sisi lain, Heru belum mengetahui bahwa banjir bandang telah meluluhlantakkan permukiman di bawah lokasi mereka.
Kecurigaan telah terjadi sesuatu yang mengerikan baru mereka sadari setelah 2 hari bekerja karena tidak mendapat jatah makan. Protes pun dilayangkan ke anggota TNI yang berjaga.
“Kita ke TNI kan datang, ini gimana masa kita orang kerja gak dikasih makan. Kata anggota TNI-nya, jangankan kalian, kita juga kelaparan,” cerita Heru.
Baca juga: Cerita Tim SAR Dahsyatnya Banjir Aceh Utara: Ada Jenazah Terbawa Banjir 9 Km dari Permukiman
Heru dan kawan-kawannya yang kecewa, memutuskan untuk kabur.
Tapi dihalangi oleh anggota TNI karena situasi di luar berbahaya, akses jalan semua putus dan rawan terjadi banjir dan longsor susulan.
“Saat itu posisinya kami belum percaya, kami pikir TNI itu bohong cuma alasan saja nahan kita biar terus kerja,” terangnya.
Dari 24 pekerja, 12 orang di antaranya memilih tetap pergi, termasuk Heru.