Editor
KOMPAS.com - Mark Stevi Hadulu (17), siswa SMA Negeri 10 Kota Bogor, mencuri perhatian setelah bersama timnya sukses meraih peringkat dua terbaik dan juara harapan dua dalam lomba defile yang digelar pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional tingkat Provinsi Jawa Barat, Selasa (20/5/2025).
Prestasi ini tak didapat dengan mudah. Mark memimpin peleton beranggotakan 30 siswa dari berbagai daerah, yang selama dua minggu digembleng di barak militer sebagai bagian dari program Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.
Lomba defile sendiri merupakan kompetisi baris-berbaris dalam bentuk parade yang rutin diadakan untuk memperingati momentum nasional.
Menurut Mark, keberhasilan timnya tak lepas dari kekompakan dan komunikasi yang terjalin selama masa pendidikan.
Baca juga: 19 Siswa Sukabumi Hasil dari Barak Pulang dengan Bangga, KCD: Sebulan Sekali Menginap
"Kami memang sudah kompak dari awal datang. Walaupun beda-beda kota, beda-beda sekolah, tetapi kami satu barak, satu kamar, akhirnya bisa dekat satu sama lain," ujar Mark saat ditemui di Gedung Pakuan, Kota Bandung.
"Kelompok kami juga paling semangat, paling rapi," tuturnya.
Selama pelatihan, Mark dan rekan-rekannya belajar langsung teknik baris-berbaris dari pelatih militer.
Beberapa peserta yang sudah memiliki dasar pengetahuan baris-berbaris (PBB) turut membagikan ilmunya kepada rekan satu tim.
"Beberapa ada yang sudah punya dasar, jadi kami saling ngajarin yang tahu biar kami bisa kompak. Kami murni belajar baris berbaris di sana," ungkapnya.
Baca juga: 40 Siswa Sukabumi Siap Dikirim ke Barak Militer Jilid 2, Tunggu Kuota
Total hadiah yang dibawa pulang oleh peletonnya mencapai Rp 20 juta, terdiri dari Rp 15 juta untuk peringkat dua terbaik dan Rp 5 juta untuk peringkat harapan dua.
Namun, di balik prestasinya, ada kisah pribadi yang unik.
Mark mengaku mengikuti program barak militer karena kebiasaan lamanya yang sering pulang malam setelah nongkrong.
Sang orangtua pun mendaftarkannya ke pelatihan ini untuk membentuk kedisiplinan.
"Suka nongkrong di luar. Jadi, pulang sekolah nongkrong sampai malam. Tapi, saya juga ada rasa kepengin ikut, kepengin coba pengalaman baru," katanya jujur.
Menariknya, meskipun barak identik dengan kedisiplinan keras, Mark menepis anggapan adanya kekerasan dalam pelatihan.
Ia justru merasa pelatih bersikap baik dan hukuman fisik yang diberikan tetap dalam batas wajar dan mendidik.
"Enggak ada sama sekali (kekerasan). Pelatihnya baik sekali. Memang ada yang susah diatur, tetapi enggak sampai main kekerasan fisik," ucapnya.
"Paling kalau ada yang susah dibilangin suruh jalan jongkok. Tapi, di balik hukuman yang diberikan ternyata baik juga untuk kita buat fisik kita," tuturnya.
(Penulis Kontributor Bandung Kompas.com: Putra Prima Perdana)
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang