Edah berkisah, dahulu ia jualan jamu dengan sistem berkeliling atau jamu gendong yang dalam sehari pendapatan bersih sekitar Rp 100.000.
Baca juga: Kisah Sukses Saeful, Jual Piyama 300 Lusin per Bulan hingga Malaysia dengan Andalkan Medsos
Ia belajar membuat jamu dari tetangganya. Ia mulai berjualan lantaran tetangganya itu pulang kampung.
"Saya dibina diarahkan harus pakai botol ini, harus begini-begini," kata dia.
Karenanya, jadilah minuman jamu dengan kemasan botol. Ia mengaku harus melakukan percobaan untuk mendapat komposisi dan rasa yang pas.
Suatu waktu, Edah meminta suaminya memasarkan produk dan tak lagi merantau. Suaminya itu sempat menolak dengan alasan prospeknya belum menjanjikan.
"Kata bapa 'ah gak ada uangnya'. Saya jawab gak papa kita bantu nene-nene nanti juga ada timbal baliknya," kenang Edah.
Betul saja, produksi dan pemasarannya kini terus maju. Kerupuk dan jamu dititipkan di tukang sayur dan warung-warung. Jamu tentu saja harus disimpan di kulkas.
"Saya masih ngider (keliling) kalau sore. Kalau pagi ripuh (ribet) ngurusin produksi dan mengrahkan," kata dia.
Ia mengaku mendapat arahan untuk menitipkan di koperasi-koperasi perusahaan. Namun terbatas modal. Sama halnya jika dititip ke minimarket modern lantaran pembayarannya dua minggu sekali.
"Kan kalau saya harus muter. Dan sekarang produksi sehari langsung habis," kata dia.
Selain suami, edah juga dibantu anaknya yang khusus megurusi kemasan dan membantu mengurus KWT Kenanga.
Edah berujar harus ekstra sabar mengarahkan para lansia yang menjadi anggotanya. Dari 13 anggota KWT Kenanga, 8 di antaranya lansia. Ada yang berumur 60, 65, dan 70 tahun.
"Harus sabar," kata dia.
"Penghasilan nene-nene tidak pasti. Kadang Rp 25 ribu kadang Rp 30 ribu satu orang. Tergantung mood mereka. Kadang kalau sedang kurang enak badan berarti libur," kata dia.
Baca juga: Sulit Dapat Solar, Sopir Truk di Kendari Tuding Ada Permainan di SPBU