Dulu, ia menjual satu liter bensin eceran jenis Premium dengan harga Rp 9.000 kemudian sempat mengalami kenaikan harga menjadi Rp 10.000
"Ya pasti disesuaikan dengan kebijakan pemerintah, kalau naik ya pasti naik saya juga," ungkapnya.
Ia menyediakan 30 botol bensin, jika pelanggan terus berdatangan, dalam sebulan mantan guru ini bisa meraup keuntungan hingga Rp 2 juta per bulan.
Ketika badai Pandemi Covid-19 datang, usaha mantan guru mata pelajaran Geografi ini pun ikut terdampak.
Virus yang memporak-porandakan semua sendi kehidupan itu, kata dia, membuat ia kerepotan mencari bensin.
Pasalnya, selain adanya pembatasan aktivitas, kala itu pemerintah juga mulai mengganti bahan baka premium ke pertalite.
"Pelanggan jadi berkurang, mobilitas orang juga berkurang. Pendapatan berkurang paling hanya 15 botol, kalau dikalikan sebulan kurang Rp 1 juta," tambahnya.
Kendati begitu, usaha bensin eceran kala itu semakin menjadi fenomena. Bahkan, kata dia, banyak yang berjualan serupa dengan menggunakan mesin dan akrab disebut Pom Mini.
Baca juga: Antre Pertalite Bisa 30 Menit, Warga Beralih ke SPBU Swasta hingga Bensin Eceran
Ia menjelaskan, perbedaan pom mini dengan pedagang bensin eceran hanya terletak pada penggunaan alat saja.
Pom mini, lanjut dia, jelas menggunakan mesin, sedangkan pedagang eceran masih konsisten menggunakan botol.
"Saat premium digantikan pertalite, usaha bensin eceran mulai menjadi fenomena banyak lahir pengrajin pom mini," bebernya.
Ia memilih tidak menggunakan bensin, lantaran resiko kerusakan mesin yang cukup signifikan dan memakan biaya.
"Tidak memilih tidak menggunakan mesin, karena resiko mesin error dan biaya perawatan," ungkapnya