Agus terus bergerilya dari kebun satu ke kebun lainnya di pelbagai wilayah, dari satu gerai kopi ke gerai kopi lain, demi mendapat informasi di tengah masih belum stabilnya harga kopi.
Barulah menginjak tahun 2021, kata Agus, harga kopi bisa kembali ke semula, namun produksinya yang menurun.
"Harga tuh baru normal lagi di Rp 14.000 tahun 2021, tapi produksinya masih sedikit, kan banyak petani kopi yang ninggalin dua tahun sebelumnya," bebernya.
Jenis kopi yang ditanam di tanah Kampung Batu Lulumpang, lanjut dia, sangat beragam. Paling tidak, yang kerap kali ditemui atau ditanam yakni jenis arabika dengan pelbagai varietas.
Mulai dari Gayo datu Gayo dua, Ateng Coklat, Ateng Hijau, Andumsari, dan Komasti, menjadi varietas yang kerap ditemui di kebun-kebun kopi milik petani Kampung Batu Lulumpang.
"Sebagian petani yang ada di daerah kawasan hutan memang semuanya mengandalkan kopi, dan berhasil menanam kopi dari berbagai varietas," ujarnya.
Tak hanya itu, Agus mengatakan kenaikan pupuk pun ikut membuat petani kopi di wilayahnya semakin kehilangan harapan.
Harga pupuk saat itu, kata dia, mencapai 100 persen pada tiap jenis pupuk dan racun gulma.
Sejak pandemi Covid-19, petani kopi yang masih bertahan tidak menggunakan pupuk karena mahal. Akibatnya, hasil panen pada saat itu menurun drastis, hingga 30 persen.
"Jadi karena mahal, waktu itu kita tidak menggunakan pupuk, itu berdampak pada produksi kopi," jelasnya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.