Dengan menguasai 40 persen dari total produksi kain di Indonesia, Majalaya menguasai 25 persen dari 12.882 alat tenun mesin (ATM) di Jawa Barat pada akhir 1964.
Namun jika ditelusuri, pada saat yang sama para pengusaha tenun lokal sudah mulai kehilangan pengaruhnya.
Sehingga untuk mempertahankan kelangsungan produksi, banyak perusahaan lokal yang beralih ke sistem maklun.
Industri tenun rumahan juga sudah mulai tergeser dan bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan produk yang dihasilkan oleh ATM.
Sementara dilansir dari pemberitaan Kompas.id (05/06/2023), masa keemasan Majalaya terjadi pada dekade 80-90-an.
Saat itu, sangat mudah menjual tekstil karena permintaan datang terus-menerus setiap hari. Pabrik juga tidak pernah kekurangan permintaan dari pasar dalam negeri, begitupun untuk memasuki pasar ekspor juga tidak sulit.
Terlebih ketika terjadi gejolak moneter tahun 1998, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang melemah justru menguntungkan. Dengan volume ekspor yang sama, eksportir TPT di Majalaya dapat mendulang pendapatan yang berlipat.
Bahkan untuk memenuhi permintaan pasar saat Lebaran, pabrik sudah bersiap dari 6 bulan sebelumnya. Untuk itu, pabrik akan sibuk dengan pekerja yang lembur sejak siang hingga malam.
Selain itu, antrean truk yang membawa barang biasanya akan terlihat mengular di sepanjang jalan Majalaya.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Majalaya Aep Hendar menyebut bahwa julukan Kota Dollar saat itu memang tidak berlebihan.
”Kalau dulu Majalaya dijuluki Kota Dollar, ya, memang tidak berlebihan. Duitnya pengusaha tekstil itu dulu memang banyak,” ujar Aep, seperti dikutip dari Kompas.id.
Dulu, pabrik-pabrik di Majalaya ini memproduksi berbagai jenis TPT, mulai dari pakaian, celana, jaket, sarung, handuk, sprei, sorban, gamis, hingga kaus kaki.
Adapun kain sarung menjadi ciri khas produk TPT dari Majalaya,yang dahulu masih dikerjakan secara tradisional dengan alat tenun.
Penjualan produk TPT dari Majalaya pun pernah mencapai puncaknya. Produk tersebut tidak hanya dijual untuk memenuhi permintaan di seluruh penjuru Tanah Air, tetapi juga diekspor ke Asia Tenggara, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Serikat.
Untuk memenuhi permintaan tersebut, setiap pabrik rata-rata mempekerjakan 50-100 orang.
Namun, saat ini jumlahnya terus menurun karena banyak pabrik yang harus melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah hari produksi.
Kisah kejayaan industri tekstil Majalaya saat ini memang tidak semanis dulu. Beberapa menyebut julukan Kota Dollar hanya tinggal kenangan.
Saat ini, kondisi pabrik TPT di Majalaya memang sudah jauh berbeda dan tidak gemerlap seperti dulu.
Fenomena menurunnya industri TPT mulai terasa di tahun 2000-an saat negara-negara lain mulai kencang mengembangkan industri TPT di wilayahnya.
Tidak hanya itu, gempuran produk impor yang masuk ke dalam negeri di saat yang sama membuat posisi pengusaha industri TPT semakin terhimpit.